BABI.
PENDAHULUAN
1.1
Pengertian Demam Typoid
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai
dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat
difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum.
(Soegeng Soegijanto, 2002).
Penyakit
Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut typhus
atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi
terutama menyerang bagian saluran pencernaan.
Demam
tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di
Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa.
1.2
Penyebab Demam Typoid
Demam
tifoid disebabkan oleh Salmonella thypi dan Salmonella parathypi.
Salmonela merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang yang termasuk dalam
famili Enterobacteriaceae. Salmonella memiliki karakteristik memfermentasikan
glukosa dan mannose tanpa memproduksi gas, tetapi tidak memfermentasikan
laktosa atau sukrose. Seperti Enterobacteriaceae yang lain Salmonella memiliki
tiga macam antigen yaitu antigen O (tahan panas, terdiri dari lipopolisakarida),
antigen Vi (tidak tahan panas, polisakarida), dan antigen H (dapat didenaturasi
dengan panas dan alkohol). Antigen ini dapat digunakan untuk pemeriksaan
penegak diagnosis. (Brooks, 2005).
1.3
Gejala Demam Typoid
Penyakit
ini bisa menyerang saat bakteri tersebut masuk melalui makanan atau minuman,
sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Kemudian
mengikuti peredaran darah, bakteri ini mencapai hati dan limpa sehingga
berkembang biak disana yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba.
Gejala
klinik demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan dapat tanpa gejala (asimtomatik). Secara garis besar, tanda dan
gejala yang ditimbulkan antara lain ;
1.
Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang
malamnya demam tinggi.
2.
Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak
akan merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas.
3.
Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hatidan
limpa, Akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga
terjadi rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa
masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut.
4.
Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan
gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa
kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar).
5.
Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas,
pusing. Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut.
6.
Pingsan, Tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan
berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali
terjadi gangguan kesadaran.
1.4
Penularan Demam Typoid
Penyakit
demam Tifoid ini bisa menyerang saat kuman tersebut masuk melalui makanan atau
minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Dan
melalui peredaran darah, kuman sampai di organ tubuh terutama hati dan limpa.
Ia kemudian berkembang biak dalam hati dan limpa yang menyebabkan rasa nyeri
saat diraba.
1.5
Pencegahan
Untuk
dapat mencegah penyakit ini harus tahu terlebih dahulu cara penularan dan
faktor resikonya. Kuman S typhi menular melalui jalur oro-fekal, artinya kuman
masuk melalui makanan atau minuman yang tercermar oleh feses yang mengandung S
typhi. Di negara endemis seperti Indonesia, faktor resikonya antara lain makan
makanan yang tidak disiapkan sendiri di rumah (karena tidak terjamin
kebersihannya), minum air yang terkontaminasi, kontak dekat dengan penderita
tifoid, sanitasi perumahan yang buruk, higiene perorangan yang tidak baik dan
penggunaan antibiotik yang tidak tepat.
Oleh
karena itu, pencegahan yang paling sederhana adalah dengan mencuci tangan
sebelum makan dan sesudah buang air, menyiapkan makanan sendiri, tidak buang
air besar sembarangan (di negara kita masih banyak keluarga yang tidak memiliki
jamban sendiri), memasak makanan terlebih dahulu, bijak dalam menggunakan
antibiotik.
Selain
hal-hal di atas, saat ini sudah tersedia vaksin untuk tifoid. Ada 2 macam
vaksin, yaitu vaksin hidup yang diberikan secara oral (Ty21A) dan vaksin
polisakarida Vi yang diberikan secara intramuskular/disuntikkan ke dalam otot.
Menurut FDA Amerika, efektivitas kedua vaksin ini bervariasi antara 50-80 %.
Vaksin hidup Ty21A diberikan kepada orang dewasa dan anak yang berusia 6 tahun
atau lebih. Vaksin ini berupa kapsul, diberikan dalam 4 dosis, selang 2 hari.
Kapsul diminum dengan air dingin (suhunya tidak lebih dari 37 oC), 1 jam
sebelum makan. Kapsul harus disimpan dalam kulkas (bukan di freezer). Vaksin
ini tidak boleh diberikan kepada orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh
(HIV, keganasan). Vaksin juga jangan diberikan pada orang yang sedang mengalami
gangguan pencernaan. Penggunaan antibiotik harus dihindari 24 jam sebelum dosis
pertama dan 7 hari setelah dosis keempat. Sebaiknya tidak diberikan kepada
wanita hamil. Vaksin ini harus diulang setiap 5 tahun. Efek samping yang
mungkin timbul antara lain, mual, muntah, rasa tidak nyaman di perut, demam,
sakit kepala dan urtikaria.
Vaksin
polisakarida Vi dapat diberikan pada orang dewasa dan anak yang berusia 2 tahun
atau lebih. Cukup disuntikkan ke dalam otot 1 kali dengan dosis 0,5 mL. Vaksin
ini dapat diberikan kepada orang yang mengalami penurunan sistem imun.
Satu-satunya kontra indikasi vaksin ini adalah riwayat timbulnya reaksi lokal
yang berat di tempat penyuntikkan atau reaksi sistemik terhadap dosis vaksin
sebelumnya. Vaksin ini harus diulang setiap 2 tahun. Efek samping yang mungkin
timbul lebih ringan dari pada jika diberikan vaksin hidup. Dapat timbul reaksi
lokal di daerah penyuntikkan. Tidak ada data yang cukup untuk direkomendasikan
kepada wanita hamil.
BAB II.
GAMBARAN EPIDEMIOLOGI
Penyakit
Typhus atau Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga
disebut typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella
Typhi terutama menyerang bagian saluran pencernaan.
Demam
tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik)
di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa. Di Indonesia
penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per
tahun dan tersebar di mana-mana. Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi
terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi
yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun.
Situasi
penyakit Typhus (demam typhoid) di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2005
sebanyak 16.478 kasus, dengan kematian sebanyak 6 orang (CFR=1%). Berdasarkan
laporan yang di terima oleh Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel dari beberapa
kabupaten yang menunjukkan kasus tertinggi yakni Kota Parepare, Kota Makassar,
Kota Palopo, Kab. Enrekang dan Kab. Gowa. Sedangkan untuk tahun 2006, tercatata
jumlah penderita sebanyak 16.909 dengan kematian sebanyak 11 orang (CFR=0,07%)
dan sebaran kasus tertinggi di Kab. Gowa, Kab. Enrekang, Kota Makassar dan Kota
Parepare.
Pada
tahun 2007 tercatat jumlah penderita sebanyak 16.552 dengan kematian sebanyak 5
orang (CFR=0,03 %) dengan sebaran kasus tertinggi di Kab.Gowa, Kab.Enrekang dan
Kota Makassar. Penyakit typhus berdasarkan Riskesdas tahun 2007 secara nasional
di Sulawesi Selatan, penyakit typhus tersebar di semua umur dan cenderung lebih
tinggi pada umur dewasa. Prevalensi klinis banyak ditemukan pada kelompok umur
sekolah yaitu 1,9%, terendah pada bayi yaitu 0,8%.
Dari
data program tahun 2008 penyakit typhus tercatat jumlah penderita sebanyak
20.088 dengan kematian sebanyak 3 orang, masing-masing Kab. Gowa (1 orang) dan
Barru (2 orang) atau CFR= 0,01 %. Insiden Rate (IR=0.28%) yaitu tertinggi di
Kab.Gowa yaitu 2.391 kasus dan terendah di Kab. Luwu yaitu 94 kasus, tertinggi
pada umur 15-44 tahun) sebanyak 15.212 kasus.
BAB III.
PEMBAHASAN
Demam
Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemic) di
Indonesia, mulai usia balita sampai orang dewasa. Prevalensi demam typhoid
paling tinggi pada usia 15-44 tahun karena pada usia tersebut orang-orang
cenderung memiliki aktivitas fisik yang banyak, atau dapat dikatakan sibuk
dengan pekerjaan dan kemudian kurang memeperhatikan pola makannya, akibatnya
mereka cenderung lebih memilih makan di luar rumah , atau jajan di tempat lain
,khususnya pada anak usia sekolah, yang mungkin tingkat kebersihannya masih
kurang dimana bakteri Salmonella thypi banyak berkembang biak khususnya dalam
makanan sehingga mereka tertular demam typhoid . Pada usia anak sekolah ,
mereka cenderung kurang memperhatikan kebersihan/hygiene perseorangannya yang
mungkin diakibatkan karena ketidaktahuannya bahwa dengan jajan makanan
sembarang dapat menyebabkan tertular penyakit demam typhoid.
Sedangkan
pada anak-anak usia 0-1 tahun prevalensinya lebih rendah karena kelompok umur
ini cenderung mengkonsumsi makanan yang berasal dari rumah masing-masing yang
tingkat kebersihannya masih cukup baik dibanding yang dijual di warung-warung
makanan (makanan yang diberikan dimasak sendiri oleh ibu bayi tersebut). Namun
kelompok umur ini tidak dapat terhindar dari penyakit demam typhoid, mungkin
salah satu akibatnya adalah tingkat hygine perseorangan dari ibu bayi tersebut.
Mungkin ibu bayi tersebut kurang memperhatikan kebersihan makanan yang ia
konsumsi, selanjutnya ibu tersebut menderita demam typhoid dan kemudian
menularkan pada bayinya melalui makanan yang mengandung bakteri Salmonella
thypi.
Perbedaan
insiden demam typhoid di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air
bersih yang kurang memadai serta sanitasi lingkungan yang masih buruk di tempat
tersebut . Dari tabel yang telah ditunjukkan di atas bahwa paling banyak
penderita di kabupaten Gowa, hal ini disebabkan oleh sistem penyediaan air
bersih oleh pihak pemerintah yang kurang memadai, misalnya air bersih yang
disalurkan ke rumah-rumah penduduk masih mengandung bakteri Salmonella thypi
akibat kurang efektifnya sistem kebersihan air minum tersebut.
Tingginya
kasus demam typhoid juga dapat disebabkan oleh masih banyaknya masyarakat di
Kabupaten Gowa yang masih menggunakan jamban yang tidak memenuhi standar
kesehatan ( masih menggunakan wc cemplung) atau masih membuang air besar di
saluran air atau sungai sehingga penyebaran bakteri Salmonella thypi sebagai
agen penyebab demam typhoid lebih tinggi dibandingkan di kabupaten Luwu.
Penyebab
lainnya yaitu kebiasaan masyarakat Kabupaten Gowa yang kurang memperhatikan
tempat pembuangan sampah, dimana hal ini dapat menyebabkan lalat dapat
berkumpul banyak dan tingkat penyebaran demam typhoid akan lebih tinggi
disbanding Kabupaten Luwu yang memilki tempat pembuangan sampah yang lebih
terorganisir.
Tingginya
prevalensi kasus demam typhoid juga dapat dipengaruhi oleh kebiasaan cara makan
masyarakat di kabupaten Gowa, misalnya kebiasaan makan menggunakan tangan
(tanpa menggunakan sendok) yang terbukti dapat meningkatkan frekuensi terular
penyakit demam typhoid disbanding yang menggunakan sendok, terlebih lagi jika
tidak ada kebiasaan mencuci tangan sebelum makan.
Dari
berbagai penelitian terhadap demam typhoid, penyakit ini dapat timbul sepanjang
tahun. Menurut waktu, dari tabel di atas dapat diketahui paling banyak jumlah
penderita demam Typhoid pada bulan April sebesar 2350 penderita, dan terendah
pada bulan November yaitu sebanyak 707 penderita. Hal ini dapat disebabkan oleh
karena bulan April merupakan musim kemarau, dimana pada masa seperti inilah
bakteri Salmonella thypi dapat berkembang biak dengan cepat sehingga prevalensi
demam typhoid juga cenderung meningkat bila dibandigkan bulan November yang
merupakan musim penghujan.
BAB IV.
PENUTUP
4.1
Kesimpulan
1.
Demam Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat
(endemic) di Indonesia, mulai usia balita sampai orang dewasa.
2.
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella thypi dan Salmonella parathypi.
Salmonela merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang yang termasuk dalam
famili Enterobacteriaceae.
3.
Penyakit demam Tifoid ini bisa menyerang saat kuman tersebut masuk melalui
makanan atau minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus
halus. Dan melalui peredaran darah, kuman sampai di organ tubuh terutama hati
dan limpa.
4.
Pencegahan terjadinya demam typhoid:
a.
mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air
b.
menyiapkan makanan sendiri
c.
tidak buang air besar sembarangan (di negara kita masih banyak keluarga yang
tidak memiliki jamban sendiri)
d.
memasak makanan terlebih dahulu
e.
bijak dalam menggunakan antibiotik.
5.
Distribusi demam typhoid menurut orang, jumlah penderita demam typhoid paling
tinggi pada usia 15-44 tahun yaitu sebesar 8154 penderita dan yang paling
rendah pada usia 0-1 tahun sebesar 184 penderita.
6.
Distribusi demam typhoid menurut tempat, jumlah penderita paling tinggi
terdapat di daerah kabupaten Gowa yaitu sebanyak 2350 penderita dan paling
rendah terdapat di kabupaten Luwu yaitu sebanyak 94 penderita.
7.
Distribusi demam typhoid menurut waktu, dapat diketahui paling banyak jumlah
penderita demam Typhoid pada bulan April sebesar 2350 penderita, dan terendah
pada bulan November yaitu sebanyak 707 penderita. Hal ini dapat disebabkan oleh
karena bulan April merupakan musim kemarau, dimana pada masa seperti inilah
bakteri Salmonella thypi dapat berkembang biak dengan cepat sehingga prevalensi
demam typhoid juga cenderung meningkat bila dibandingkan bulan November yang
merupakan musim penghujan.
4.2
Saran
1.
Program pencegahan penyakit demam typhoid hendaknya lebih dioptimalkan dengan
melibatkan berbagai sector, baik itu masyarakat, pemerintah, dan petugas
pelayanan kesehatan.
2.
Peningkatan sanitasi terhadap lingkungan dan hygiene perorangan hendaknya lebih
mendapatkan perhatian penuh dan dilakukan upaya promotif untuk mencegah,
mengurangi bahkan menghilangkan kejadian penyakit demam typhoid.
DEMAM BERDARAH (DENGUE)
I.PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Demam berdarah
dengue (DBD), merupakan penyakit yang masih sering terjadi di berbagai daerah.
Hal ini dikarenakan nyamuk penular dan virus penyebab penyakit ini hidup di
sekitar kita. Pada tahun 1968, di Indonesia mulai ditemukan kasus penyakit
demam berdarah dengue (DBD) terutama di Jakarta dan Surbaya. Masalah ini
merupakan masalah klasik, karena kejadiannya hampir disetiap tahun, khususnya
di awal musim penghujan. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan kerugian dalam bentuk
materi berupa biaya pengobatan tetapi juga pengorbanan moril (korban jiwa) (Soedarmono
1988 dalam Kardinan, 2007).
Penyakit demam
berdarah ini merupakan penyakit yang banyak menyerang penduduk di negara yang
beriklim tropis. Hal ini dikarenakan, negara-negara tersebut memiliki kisaran
suhu yang sama dengan kisaran suhu optimum bagi kehidupan nyamuk. Penyakit ini mulai
ditemukan di Asia Tenggara setelah Perang Dunia II dan selama 15 tahun terakhir
menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat dunia (Hastowo et al 1992 dalam Sanjaya dkk, 2006).
Di Indonesia, kasus demam berdarah pada umumnya
terjadi di kota-kota dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi seperti
Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta. Namun seiring perkembangan daerah
dan mobilitas penduduk yang tinggi, penyakit ini sudah menyebar hampir
diseluruh wilayah di tanah air (Hastowo et
al 1992 dalam Sanjaya dkk,
2006).
DBD
(Demam Berdarah Dengue)
adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Penderita demam berdarah akan ditandai dengan
gejala klinis berupa demam tinggi yang berlangsung terus menerus selama 2-7
hari, pendarahan yang biasanya didahului tanda khas berupa bintik-bintik merah
(petechia) pada penderita, hepatomegali dan kegagalan peredaran darah. Vektor utama dari demam berdarah adalah
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor
potensial (Hoedojo dkk, 1998).
Demam berdarah
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, dengan cara mengisap darah korban dan
memindahkan virus penyakit demam berdarah ke tubuh orang lain (Hastowo et al 1992 dalam Sanjaya dkk, 2006).
Menurut Roche
(2004), penyakit demam berdarah yang ditularkan oleh nyamuk Aedes terbagi dalam
dua golongan, yaitu demam dengue (Dengue
Fever) dan demam berdarah dengue (DBD). Demam dengue (Dengue Fever) atau lebih dikenal di Indonesia sebagai penyakit cikunguya
(Break Bone Fever) yang menyerang
persendian tulang, namun tidak berakibat fatal (kematian) bagi manusia yang ditularkan
oleh nyamuk Aedes albopictus (nyamuk
kebun), sedangkan demam berdarah dengue (DBD) ditularkan oleh Aedes aegypti. Virus demam berdarah (Dengue Flavivirus) terdiri dari 4 serotypes (DEN-1, DEN-2, DEN-3
dan DEN-4). Jika seseorang pernah terinfeksi oleh salah satu serotypes, maka biasanya
akan kebal terhadap serotypes tersebut dalam jangka waktu tertentu. Namun tidak
akan kebal terhadap serotypes lainnya, melainkan akan menjadi sensitif terhadap
serangan demam berdarah Dengue
Hemorrhagic Fever (Roche 2004 dalam
Kardinan, 2007)
Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan dalam mengendalikan
vektor DBD ini, salah satunya yaitu dengan penggunaan insektisida kimia yang
dianggap lebih efektif dalam menanggulangi vektor. Namun, penggunaan
insektisida kimia yang terus menerus dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan resistensi terhadap
serangga target. Hal ini terkait karena kemampuan vektor dalam mengembangkan
sistem kekebalan tubuhnya terhadap insektisida yang sering digunakan dalam
pengendalian nyamuk (Nusa dkk, 2008).
Cara lain dalam pengendalian
nyamuk, yaitu dengan menghindari gigitan nyamuk. Salah satunya dengan pemakaian
anti nyamuk berbentuk lotion, cream, ataupun pakaian yang dapat melindungi
tubuh dari gigitan nyamuk. Di
Indonesia, hampir semua lotion anti nyamuk yang beredar mengandung bahan kimia
sintetis dan berbahan aktif DEET (Diethyl toluamide). Bahan kimia sintesis
mengandung racun, dalam konsentrasi 10-15% dan akan berbahaya khususnya bagi
anak-anak apabila penggunaanya kurang hati-hati. Bahan aktif DEET ini tidak
akan larut dalam air, menempel pada kulit selama 8 jam dan akan terserap masuk
ke dalam tubuh melalui pori-pori kulit menuju sirkulasi darah. Hanya 10-15%
yang akan terbuang melalui urin (Gunandini 2006 dalam Kardinan, 2007).
Oleh karena itu untuk mengurangi dampak yang
ditimbulkan dari penggunaan
insektisida kimia dan bahan kimia sintesis yang mengandung racun. Diperlukan cara lain yang lebih aman, efektif dan efisien serta ramah lingkungan, yaitu
insektisida yang berasal dari tumbuh – tumbuhan.
Ada beberapa tanaman yang memiliki bau yang khas dan
yang aromanya tidak disukai oleh
nyamuk. Tanaman-tanaman
tersebut mengandung insektisida alami dari berbagai senyawa metabolik sekunder
yang dihasilkannya, sehingga mengeluarkan bau yang khas dan tidak disukai oleh
nyamuk. Tanaman
ini terbagi dalam dua jenis, yaitu tanaman yang secara langsung dapat mengusir
nyamuk karena aroma yang dikeluarkan
tanaman tersebut, seperti
:
geranium, selasih, zodia dan suren dan
tanaman yang dapat menghasilkan zat pengusir nyamuk yang sebelumnya harus melalui proses
pengolahan terlebih dahulu, seperti : lavender,
kayu putih, serai wangi, akar wangi, cengkeh dan nimba (Pradani
2007 dalam Depkes
RI, 2007).
Salah satu tanaman yang mudah di dapat dan bermanfaat
ganda bagi manusia adalah daun pandan
wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb).
Pandan wangi adalah tanaman yang sering
dimanfaatkan dalam pengolahan makanan, komponen hiasan dalam penyajian makanan
dan menghasilkan metabolit sekunder, salah satunya mengandung insektisida berupa saponin. Menurut Rohmawati (1995), kandungan kimia yang ada di daun pandan wangi adalah senyawa pahit berupa polifenol, flavonoid, saponin,
minyak astiri dan alkaloid (Rohmawati
1995 dalam Susanna dkk, 2003).
B.
Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1.
Pengaruh
daya tolak ekstrak daun pandan
wangi (P. amaryllifolius) terhadap nyamuk
Ae. aegypti pada berbagai konsentrasi.
2.
Pengaruh
persistensi (lamanya waktu) ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) yang dioleskan pada lengan uji terhadap
nyamuk Ae. aegypti.
C.
Manfaat
Penelitian
Sebagai informasi tambahan kepada masyarakat tentang manfaat ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius)
yang
dapat digunakan
sebagai zat penolak
terhadap nyamuk Ae. aegypti.
D.
Kerangka
Pikir
Salah satu yang penyebab wabah DBD di Indonesia berkembang dengan pesat adalah faktor lingkungan yang
cocok sebagai tempat perindukan (suhu)
vektor
DBD ini yaitu
nyamuk Ae. aegypti.
Nyamuk Ae. aegypti
merupakan serangga yang memiliki siklus hidup yang
sempurna dan hidupnya tersebar luas didaerah-daerah yang beriklim panas dan
dingin terutama pada genangan-genangan air, tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari dan
tempat penampungan air alamiah (lubang pohon, pelepah daun potongan bambu,
dll).
Kurangnya tingkat
kesadaran masyarakat kita dalam menjaga kebersihan di lingkungan sekitarnya
merupakan pemicu mudahnya wabah DBD menyebar di Indonesia.
Berbagai cara telah dilakukan untuk
mengendalikan dan mencegah berkembangnya nyamuk vektor DBD ini, seperti dengan
cara fogging (pengasapan dengan bahan kimia). Banyaknya bahan kimia yang sering
digunakan dalam mengendalikan perkembangan nyamuk ini menimbulkan dampak
langsung terhadap lingkungan hidup dan dapat memicu masalah masalah baru, yaitu
resistensi terhadap serangga target. Contoh
kasus, resistensi pernah terjadi pada penggunaan pertisida DDT terhadap nyamuk,
dimana pertama kali digunakan tahun 1946. Sejak itulah lebih dari seratus
spesies nyamuk resisten terhadap satu insektisida ini. Hal ini dikarenakan
nyamuk dan vektor serangga lainnya
mampu mengembangkan sistem kekebalan terhadap insektisida yang sering digunakan
dan nyamuk yang sudah menjadi resisten akan menurunkan sifat resisten mereka
kepada keturunannya. Terdapat 3 cara masuknya insektisida ke dalam tubuh serangga, yaitu
melalui kulit (racun kontak), melalui mulut (racun perut/pencernaan) dan
melalui sistem jalan nafas (racun pernafasan).
Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif lain dalam
mengendalikan vektor penyebab demam
berdarah tersebut, yaitu
dengan cara menggunakan tanaman yang tidak disukai nyamuk tetapi tidak berbahaya
bagi lingkungan hidup. Salah satu
tanaman yang dapat dimanfaatkan dan ramah lingkungan adalah dengan
menggunakan ekstrak daun pandan
wangi (P. amaryllifolius) terhadap nyamuk
Ae. aegypti.
Pandan wangi
merupakan tanaman yang sangat bermanfaat bagi manusia dan memiliki bau yang
khas. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman yang bersifat toksik dan
memiliki beberapa senyawa metabolit sekunder berupa berupa
alkaloida, saponin,
sterol, terpenoid, flavonoida,
tanin, polifenol,
dan zat warna. Bau khas yang
dimilikinya berasal dari komponen aroma dasar dari senyawa kimia 2-acetyl-1-pyrroline (ACPY) yang juga terdapat di tumbuhan
jasmin.
Berdasarkan informasi di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui uji daya tolak ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap nyamuk Ae.
aegypti.
E.
Hipotesis
Hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) dapat digunakan sebagai penolak
(repellent) nyamuk Ae.
aegypti.
LEUKEMIA
TUJUAN
Agar
mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan terapi pada penyakit leukemia, serta
dapat menyampaikan informasi yang dibutuhkan.
DASAR TEORI
Kanker
Kanker merupakan suatu kelompok dari
banyak penyakit-penyakit yang berhubungan. Semua kanker-kanker mulai di
sel-sel, yang membentuk darah dan jaringan-jaringan lain. Secara normal,
sel-sel tumbuh dan membelah untuk membentuk sel-sel baru ketika tubuh
membutuhkan mereka. Ketika sel-sel tumbuh menjadi tua, mereka mati, dan sel-sel
baru mengambil tempat mereka. Adakalanya proses yang teratur ini berjalan
salah. Sel-sel baru terbentuk ketika tubuh tidak memerlukan mereka, dan sel-sel
tua tidak mati ketika mereka seharusnya mati.
Kanker (suatu penyakit sel) ditandai dengan suatu
pergeseran pada mekanisme kontrol yang mengatur proliferasi dan diferensiasi
sel. Sel yang sudah mengalami transformasi neoplastik biasanya mengekspresikan
antigen permukaan sel yang tampaknya merupakan tipe normal dan memiliki tanda
ketidakmatangan yang jelas dan dapat menunjukkan kelainan kromoson baik
kualitatif maupun kuantitatif, termasuk pelbagai traslokasi dan munculnya
pengerasan dari rangkaian gen. Sel-sel tadi berkembang dengan cepat dan
membentuk tumor lokal yang dapat menekan atau menyerang struktur jaringan sehat
di sekitarnya. Subpopulasi sel yang berada dalam tumor dapat digambarkan
sebagai ’sel induk tumor’, yang memiliki kemampuan untuk mengulangi siklus
proliferasi berkali-kali dan berpindah ke sisi yang jauh di dalam tubuh untuk
membentuk koloni dalam berbgai organ tubuh, proses ini disebut metastase. Induk
sel tumor dapat mengekspresikan klonogenik atau kemampuan untuk membentuk
koloni. Sel induk memiliki kelainan kromosom yang merefleksikan ketidakseimbangan
genetiknya, yang mengarah pada seleksi subklon yang progresif yang dapat
bertahan dan berkembang lebih cepat dalam lingkungan multiseluler tubuh.
Kelainan kuantitatif dalam pelbagai alur metabolisme dan komponen selular
berkaitan dalam perkembangan neoplastik ini. Proses invasif dan metastatik
demikian pula kelainan metabolisme akibat kanker akan menyebabkan penyakit dan
akhirnya kematian kecuali kanker dapat disembuhkan dengan pengobatan.
Leukemia
Leukemia adalah suatu tipe dari
kanker. Leukemia berasal
dari kata Yunani leukos-putih, haima-darah. Leukemia
adalah kanker yang mulai di sel-sel darah. Penyakit ini terjadi ketika sel darah memiliki sifat
kanker yaitu membelah tidak terkontrol dan mengganggu pembelahan sel darah
normal. Leukemia (kanker darah) adalah jenis penyakit kanker yang menyerang
sel-sel darh putih yang diproduksi oleh sumsum tulang (bone marrow).
Sel-Sel Darah Normal
Sel-sel
darah terbentuk di sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang adalah material
yang lunak dipusat dari kebanyakan tulang-tulang. Sel-sel darah yang belum
menjadi dewasa (matang) disebut sel-sel induk (stem cells) dan blasts.
Kebanyakan sel-sel darah menjadi dewasa didalam sumsum tulang dan kemudian
bergerak kedalam pembuluh-pembuluh darah. Darah yang mengalir melalui
pembuluh-pembuluh darah dan jantung disebut peripheral blood.
Sumsum
tulang membuat tipe-tipe yang berbeda dari sel-sel darah. Setiap tipe mempunyai
suatu fungsi yang khusus:
-
Sel-sel darah putih membantu melawan
infeksi.
-
Sel-sel darah merah mengangkut
oksigen ke jaringan-jaringan diseluruh tubuh.
-
Platelet-platelet membantu membentuk
bekuan-bekuan (gumpalan-gumpalan) darah yang mengontrol perdarahan.
Sel-Sel Leukemia
Pada kondisi leukemia, sel darah putih tidak merespon
signal yang dikirim oleh tubuh, sehingga sel-sel pembentuk darah pada sumsum
tulang dan jaringan limfoid memperbanyak diri secara tidak normal atau
mengalami transformasi maligna. Sel-sel normal pada sumsum tulang diganti
dengan sel abnormal yang kemudian keluar dari sumsum dan ditemukan di dalam
darah. Sel leukemia ini mempengaruhi hematopoiesis (pembentukan sel darah
normal) dan imunitas tubuh penderita. Sel leukemia menghasilkan FGFs (Fibroblast Growth Factors) yang
mengacaukan fungsi autokrin dan parakrin pada sumsum tulang dan menstimulasi
produksi sitokin oleh sel stroma dan endotelium. FGFs juga mengacaukan variasi
tipe sel mesodermal dan neuroectodermal yang berakibat perubahan proliferasi,
pergerakan, ketahanan dan diferensiasi sel. FGFs mengacaukan aktivitas tersebut
dengan berikatan pada reseptor protein kinase dan permukaan sel heparan sulfate
proteoglycans. Sehingga penderita mudah terkena infeksi, anemia dan pendarahan
akibat gangguan pembentukan darah.
Etiologi
Penyebab dari penyakit ini tidak
diketahui secara pasti. Bagaimanapun, penelitian telah
menunjukan bahwa orang-orang dengan faktor-faktor risiko tertentu lebih mungkin
daripada yang lain-lain mengembangkan leukemia. Suatu faktor risiko adalah apa
saja yang meningkatkan kesempatan seseorang mengembangkan suatu penyakit.
Faktor yang diduga
mempengaruhi frekuensi terjadinya leukemia yaitu:
1)
Radiasi
Berdasarkan
laporan riset menunjukkan bahwa :
- Para pegawai radiologi lebih beresiko untuk terkena leukemia
- Pasien yang menerima radioterapi beresiko terkena leukemia
- Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang
2)
Faktor leukemogenik
- Racun lingkungan seperti benzena à Paparan pada tingkat-tingkat yang tinggi dari benzene pada tempat kerja dapat menyebabkan leukemia
- Bahan kimia industri seperti insektisida dan Formaldehyde.
- Obat untuk kemoterapi à Pasien-pasien kanker yang dirawat dengan obat-obat melawan kanker tertentu adakalanya dikemudian hari mengembangkan leukemia. Contohnya, obat-obat yang dikenal sebagai agen-agen alkylating dihubungkan dengan pengembangan leukemia bertahun-tahun kemudian.
3)
Herediter
Penderita sindrom Down,
suatu penyakit yang disebabkan oleh kromosom-kromosom abnormal mungkin
meningkatkan risiko leukemia. Ia memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar dari
orang normal.
4)
Virus
Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih
berfungsi sebagai pertahanan kita dengan infeksi. Sel ini secara normal
berkembang sesuai dengan perintah, dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan
tubuh kita. Lekemia meningkatkan produksi sel darah putih pada sumsum tulang
yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan sel darah normal dan
tidak berfungsi seperti biasanya. Sel lekemia memblok produksi sel darah
putih yang normal , merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel lekemia juga
merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah merah
dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan. Menurut Smeltzer dan Bare (2001) analisa sitogenik menghasilkan banyak
pengetahuan mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan
leukemia. Perubahan kromosom
dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh
kromosom, atau perubahan struktur, yang termasuk translokasi ini, dua atau
lebih kromosom mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah
dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.
Leukemia terjadi jika proses
pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih mengalami gangguan dan
menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut seringkali
melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan genetik sel yang
kompleks). Penyusunan kembali kromosom (translokasi kromosom) mengganggu
pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tak terkendali
dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan
menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang normal.
Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya, termasuk hati, limpa,
kelenjar getah bening, ginjal dan otak.
Tipe-Tipe Leukemia
v
Berdasarkan
kecepatan perkembangannya, leukemia dibagi menjadi 2, yaitu:
1.
Leukemia
Akut
Perjalanan penyakit pada leukemia akut sangat cepat,
mematikan dan memburuk. Dapat dikatakan waktu hidup penderita tanpa pengobatan
hanya dalam hitungan minggu bahkan hari. Leukemia kaut merupakan akibat dari
terjadinya komplikasi pada neoplasma hematopoietik secara umum.
2.
Leukemia
kronis
Berbeda dengan akut, leukemia kronis memiliki perjalanan
penyakit yang tidak begitu cepat, sehingga dapat dikatakan bahwa waktu hidup
penderita tanpa pengobatan dalam hitungan samapi 5 tahun.
v
Berdasarkan
jenis sel kanker, leukemia diklaifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Myelocytic/Myelogeneus
leukemia
Sel kanker yang berasal dari sel darah merah,
granulocytes, macrophages dan keping darah.
2. Lymphocytic
leukemia
Sel kanker yang berasal dari lymphocyte cell.
v
Berdasarkan
kedua klasifikasi di atas, maka leukemia dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
a.
Leukemia limfositik akut (LLA).
Merupakan tipe
leukemia paling sering terjadi pada anak-anak. Penyakit ini juga terdapat pada
dewasa yang terutama telah berumur 65 tahun atau lebih.
b.
Leukemia mielositik akut (LMA).
Ini lebih sering
terjadi pada dewasa daripada anak-anak. Tipe ini dahulunya disebut leukemia
nonlimfositik akut.
c.
Leukemia limfositik kronis (LLK).
Hal ini sering
diderita oleh orang dewasa yang berumur lebih dari 55 tahun. Kadang-kadang juga
diderita oleh dewasa muda, dan hampir tidak ada pada anak-anak. Sebagian
besar leukosit pasien di atas 50.000/µL.
d.
Leukemia mielositik kronis (LMK)
Sering terjadi
pada orang dewasa. Dapat juga terjadi pada anak-anak, namun sangat sedikit.
Leukosit dapat mencapai lebih dari 150.000/ µL yang memerlukan pengobatan.
Gejala-Gejala Leukemia
Seperti
semua sel-sel darah, sel-sel leukemia berjalan keseluruh tubuh. Tergantung pada
jumlah sel-sel abnormal dan dimana sel-sel ini berkumpul, pasien-pasien dengan
leukemia mungkin mempunyai sejumlah gejala-gejala.
Gejala-gejala
umum dari leukemia:
-
Demam-demam atau keringat-keringat
waktu malam
-
Infeksi-infeksi yang seringkali
-
Perasaan lemah atau lelah
-
Sakit kepala
-
Perdarahan dan mudah memar
(gusi-gusi yang berdarah, tanda-tanda keungu-unguan pada kulit, atau
titik-titik merah yang kecil dibawah kulit)
-
Nyeri pada tulang-tulang atau
persendian-persendian
-
Pembengkakan atau ketidakenakan pada
perut (dari suatu pembesaran limpa)
-
Pembengkakan nodus-nodus getah
bening, terutama pada leher atau ketiak
-
Kehilangan berat badan
Gejala-gejala semacam ini bukanlah
tanda-tanda yang pasti dari leukemia. Suatu infeksi atau persoalan lain juga
dapat menyebabkan gejala-gejala ini. Siapa saja dengan gejala-gejala ini harus
mengunjungi dokter sesegera mungkin. Hanya seorang dokter dapat mendiagnosa dan
merawat persoalannya.
Pada tingkat-tingkat awal dari leukemia
kronis, sel-sel leukemia berfungsi hampir secara normal. Gejala-gejala mungkin
tidak nampak untuk suatu waktu yang lama. Dokter-dokter seringkali menemukan
leukemia kronis sewaktu suatu checkup rutin — sebelum ada gejala-gejala apa
saja. Ketika gejala-gejala nampak, mereka umumnya adalah ringan pada permulaan
dan memburuk secara berangsur-angsur.
Pada leukemia akut, gejala-gejala
nampak dan memburuk secara cepat. Orang-orang dengan penyakit ini pergi ke
dokter karena mereka merasa sakit. Gejala-gejala lain dari leukemia akut adalah
muntah, bingung, kehilangan kontrol otot, dan serangan-serangan (epilepsi).
Sel-sel leukemia juga dapat berkumpul pada buah-buah pelir (testikel) dan
menyebabkan pembengkakan. Juga, beberapa pasien-pasien mengembangkan luka-luka
pada mata-mata atau pada kulit. Leukemia juga dapat mempengaruhi saluran
pencernaan, ginjal-ginjal, paru-paru, atau bagian-bagian lain dari tubuh.
Mendiagnosa Leukemia
Jika
seseorang mempunyai gejala-gejala yang menyarankan leukemia, dokter mungkin
melakukan suatu pemeriksaan fisik dan menanyakan tentang sejarah medis pribadi
pasien dan keluarga. Dokter juga mungkin meminta tes-tes laboratorium, terutama
tes-tes darah.
Pemeriksaan-pemeriksaan dan tes-tes mungkin termasuk
yang berikut:
1. Pemeriksaan Fisik—Dokter memeriksa pembengkakan nodus-nodus getah
bening, limpa, dan hati.
2. Tes-Tes
Darah—Laboratorium memeriksa tingkat sel-sel darah.
Leukemia menyebabkan suatu tingkatan sel-sel darah putih yang sangat tinggi. Ia
juga menyebabkan tingkatan-tingkatan yang rendah dari platelet-platelet dan
hemoglobin, yang ditemukan didalam sel-sel darah merah. Lab juga mungkin
memeriksa darah untuk tanda-tanda bahwa leukemia telah mempengaruhi hati dan
ginjal-ginjal.
3. Biopsi—Dokter
mengangkat beberapa sumsum tulang dari tulang pinggul atau tulang besar
lainnya. Seorang ahli patologi memeriksa contoh dibahwah sebuah mikroskop.
Pengangkatan jaringan untuk mencari sel-sel kanker disebut suatu biopsi. Suatu
biopsi adalah cara satu-satunya yang pasti untuk mengetahui apakah sel-sel
leukemia ada didalam sumsum tulang.
Ada dua cara
dokter dapat memperoleh sumsum tulang. Beberapa pasien-pasien akan mempunyai
kedua-duanya prosedur:
·
Bone marrow aspiration (Penyedotan
sumsum tulang): Dokter menggunakan sebuah jarum untuk mengangkat
contoh-contoh dari sumsum tulang.
·
Bone marrow biopsy (Biopsi Sumsum
Tulang): Dokter menggunakan suatu jarum yang sangat tebal
untuk mengangkat sepotong kecil dari tulang dan sumsum tulang.
4.
Cytogenetics—Lab
melihat pada kromosom-kromosom dari sel-sel dari contoh-contoh dari peripheral
blood, sumsum tulang, atau nodus-nodus getah bening.
5.
Spinal tap—Dokter
mengangkat beberapa dari cairan cerebrospinal (cairan yang mengisi ruang-ruang
di dan sekitar otak dan sumsum tulang belakang). Dokter menggunakan suatu jarum
panjang yang kecil untuk mengangkat cairan dari kolom tulang belakang (spinal
column). Prosedur memakan waktu kira-kira 30 menit dan dilaksanakan dengan
pembiusan lokal. Pasien harus terbaring untuk beberapa jam setelahnya untuk
mempertahankannya dari mendapat sakit kepala. Lab memeriksa cairan untuk
sel-sel leukemia dan tanda-tanda lain dari persoalan-persoalan.
6.
Chest x-ray—X-ray
dapat mengungkap tanda-tanda dari penyakit di dada.
Penanganan penyakit leukemia biasanya dimulai dari gejala
yang muncul, seperti anemia, perdarahan dan infeksi. Secara garis besar penanganan dan pengobatan
leukemia bisa dilakukan dengan tunggal ataupun
gabungan dari beberapa metode dibawah ini:
1.
Chemotherapy/intrathecal medications
2.
Therapy Radiasi.
Metode ini sangat jarang sekali digunakan
3. Transplantasi
bone marrow (sumsum tulang)
4.
Pemberian
obat-obatan tablet dan suntik
5.
Transfusi sel
darah merah atau platelet.
Pengobatan pada leukemia akut terdiri dari 3 fase, yaitu
terapi induksi remisi (bertujuan untuk mempercepat induksi remisi klinik dan
hematologi lengkap), terapi
konsolidasi, dan terapi pemeliharaan pada ALL (untuk AML terdapat 2 pilihan,
yaitu transplantasi hematopoietic stem cell atau pemberhentian terapi).
Pilihan
terapi pada ALL, sebagai berikut:
Sedangkan terapi pada AML, terapi
induksi menggunakan obat yang toksik untuk sel sumsum yang normal. Oleh karena
itu pasien memerlukan pelayanan suportif yang intensif selama periode toksik
kemoterapi induksi sebelum remisi diperoleh. Antara lain transfuse trombosit
untuk mencegah pendarahan. G-CSF untuk memperpendek periode neutropenia dan
antibiotic bakterisid dan tranfusi granulosit untuk melawan infeksi. Rancangan
pengobatan AML sebagai berikut:
Setelah dilakukan terapi induksi remisi, jika terjadi remisi,
pasien melakukan terapi berikutnya, akan tetapi apabila terjadi kekambuhan pada
saat pasien dalam keadaan remisi, obat yang sama dapat digunakan untuk
melakukan terapi induksi ulang. Jika
terjadi resistensi, maka dilakukan terapi ulang induksi dengan menggunakan obat
lain dalam berbagai kombinasi.
Sedangkan untuk
terapi leukemia mielogenus kronis, terapi bertujuan untuk menurunkan granulosit
ke dalam jumlah yang normal, meningkatkan konsentrasi hemoglobin sampai normal,
dan menghilangkan gejala metabolik. Sediaan yang digunakan untuk memperoleh
remisi adalah dengan interferon alfa IV atau busulfan IV, dengan alkilator oral
atau dengan hidroksiurea. Terapi penyinaran local pada limpa juga digunakan.
Tahap awal penyakit, pengobatan dimaksudkan untuk mengecilkan ukuran limpa
dengan cepat, menurunkan jumlah leukosit dan meningkatkan perasaan sehat pada
pasien. Untuk pasien berumur < 55 tahun sebaiknya melakukan transplantasi
sumsum tulang alogenik ketika pasien remisi dan sebaiknya dalam tahun pertama
setelah diagnosis ditegakkan.
Pada LLK,
pengobatan berbeda dengan LMK. Pada LMK, neoplasma proliferative memerlukan
pengobatan sistemik untuk simptomatik, sedangkan pada LLK hasil dari akumulasi
lambat limfosit monoclonal B. Pada pasien yang penyakitnya terbatas pada
limfositosis darah perifer, sebaiknya tidak dilakukan pengobatan, kecuali
jumlah limfosit di atas 150.000/µL. terapi menggunakan kortikosteroid,
alkilator atau fludarabin. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan manifestasi
sistemik penyakit. Terapi dihentikan ketika keadaan pasien sudah stabil, dengan
tetap melakukan monitoring untuk mendeteksi gejala yang kembali timbul.
DESKRIPSI
KASUS
Seorang wanita 50 tahun, masuk RS
dengan keluhan mual dan muntah yang menetap, rigor, nyeri mulut yang parah satu
minggu setelah kemoterapi dimulai. Tiga minggu yang lalu dia masuk UGD dengan
fatigue yang progresif, kurang energy dalam beberapa minggu, sakit tenggorokan,
kongesti nasal dan radang gusi. Hasil pemeriksaan dia didiagnosis AML (Acut Myelogenous Leukimia) dan
dimulai kemoterapi induksi dengan cytarabine dan daunorubicin.
Hasil
pemeriksaan fisik :
KU : diaphoretic, lemah
VS :
-
TB 168 cm
-
BB 55,5 kg
-
BP 110/56 mmHg
-
Suhu badan 39,50 C
-
RR
20 (12-18x/menit)
-
HR 100 (60-80 x/menit)
-
BSA
1,6 m2
HEENT : Gingival
hyperplasia, erythematous buccal cavity
COR,
CHEST, EXT, NEURO : Normal
Hasil
tes pemeriksaan :
Normal:
Na : 138 (normal) 135-150
mmol/L
K : 3.1 (rendah) 3,5-5 mmol/L
Cl : 115 (tinggi) 98-107
mmol/L
HCO3 : 22 (rendah) 24 mEq/L
BUN : 9 (normal) 8-20 mg/dL
Cr : 1 (normal) 0,6-1,2 mg/dL
Hct : 21 (rendah) 35-45 %
Hgb : 8 (rendah) 12-15,5g/dL
Lkc : 0.3 x 103 (rendah) 4,8-10,8
x 103/mm3
Plts : 134 x 103 (rendah) 150-450
x 103/mm3
Ca : 8.0 (rendah) 8,5-10 mg/dL
PO4 : 2 (rendah) 2,5-4,5 mg/dL
PT : 10 (rendah) 11,5-14,5
detik
INR : 1.8 (rendah) 2,0-2,5
Bone
marrow biopsy : hypocellular marrow
Peripheral
smear : no blast
Blood
culture : negatif
CXR : normal
PEMILIHAN
OBAT RASIONAL
Kemoterapi
a.
Sitotoksis
/ antibiotik
Mekanisme : dapat mengikat DNA secara kompleks, sehingga sintesisnya terhenti.(Tjay, 2007)
Mekanisme : dapat mengikat DNA secara kompleks, sehingga sintesisnya terhenti.(Tjay, 2007)
v Drug
of choice : doksorubisin
KI : hipersensitif, kehamilan dan menyusui
ES : kardiotoksis, mielotoksis, rontok rambut dan mual muntah
KI : hipersensitif, kehamilan dan menyusui
ES : kardiotoksis, mielotoksis, rontok rambut dan mual muntah
v Drug
of choice : daunorubisin
KI : penyakit jantung
ES : sama dengan
doksorubisin
b.
Antimetabolit
v Drug
of choice : cytarabin
Mekanisme : kerjanya mengganggu sintesis pirimidin dan digunakan terutama untuk menimbulkan remisi leukimia mioblastik akut. (IONI, 2000)
KI : hipersensitif
ES : toksisitas hematologi, leukopenia, mual, muntah, anoreksidan inflamasi mulut serta anus
Mekanisme : kerjanya mengganggu sintesis pirimidin dan digunakan terutama untuk menimbulkan remisi leukimia mioblastik akut. (IONI, 2000)
KI : hipersensitif
ES : toksisitas hematologi, leukopenia, mual, muntah, anoreksidan inflamasi mulut serta anus
v Drug
of choice : metotreksat
Mekanisme : menghambat reduksi asam folat menjadi THFA dengna jalan pengikatan enzim reduktase.
KI : kehamilan, psoriasis, leukopenia dan anemia
ES : mual dan muntah
Mekanisme : menghambat reduksi asam folat menjadi THFA dengna jalan pengikatan enzim reduktase.
KI : kehamilan, psoriasis, leukopenia dan anemia
ES : mual dan muntah
Terapi
suportif
- Pemberian Nutrisi
ü Infus
Parenteral
Mekanisme aksi :
memperbaiki kondisi tubuh dengan menyediakan kebutuhan nutrisi yang hilang akibat dari kemoterapi
Efek samping : hiperglikemia, glukosuria, sindrom hiperosmolar
KI : -
- Manajemen nyeri
ü Morfin
.
Mekanisme aksi : Morfin
berinteraksi dengan reseptor opiate sterospesifik pada CNS dan jaringan lain.
Efek analgetik yang ditimbulkan terutama bekerja di reseptor µ.
Efek Samping : konstipasi, retensi urin,
mual,muntah, retensi urine, halusinasi, prurutis, euphoria.
Kontraindikasi : depresi pernafasan, sensitive terhadap morfin.
ü Methadone
Mekanisme aksi : berikatan
dengan reseptor opiate di CNS, menyebabkan penghambatan jalur nyeri, merubah
persepsi dan respon nyeri dan menyamarkan depresi CNS
Efek Samping : konstipasi, retensi urin, mual,muntah, retensi urine, halusinasi,
prurutis, euphoria.
Kontraindikasi : depresi pernafasan,
sensitive terhadap morfin.
- Pemberian anti mual-muntah (antiemetik)
ü SSRI (dolansetron, ondansetron, granisetron)
Mekanisme aksi : antagonis
selektif reseptor serotonin (5HT3). Memblokir
serotonin di perifer dan sentral (chemotherapy trigger zone)
Efek samping : pusing,
diare
Kontraindikasi :
hipersensitivitas
ü
Dexametason
Mekanisme aksi :
meningkatkan efek antiemetik SSRI. Mekanisme sesungguhnya masih belum dapat
dipastikan
Efek samping : aritmia, malaise, insomnia
Kontraindikasi : hipersensitivitas
EVALUASI
OBAT TERPILIH
Kemoterapi
à post remission à siklus 1
Diket à
TB = 168 cm, BB = 55,5 kg
BSA =
= 1,61 m2
Daunorubicin HCl DBL® Tempo
Scan Pacific/DBL
Komposisi : Daunorubicin HCl
Indikasi : Treatment untuk leukemia ALL
dan NALL
Efek Samping : Mual, muntah, imunosupresif, depresi
sum-sum tulang.
Interaksi Obat : -
Frekuensi : 1 x sehari
Durasi : 2 hari
Dosis : 60 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2
= 60 mg x 1,61 m2
= 96,6 mg
Analisis Biaya : sediaan = 20 mg x 1 (Rp 203.000)
1 hari à
butuh 5 vial ~ 100 mg
2 hari à
butuh 10 vial = 10 x Rp 203.000 = Rp 2.030.000
Alasan
Pemilihan : Daunorubicin dan cytarabin
merupakan 1st line therapy untuk leukemia yang baru dideteksi.
Cytosar-U® Pfizer
Komposisi : Cytarabine
Indikasi : Induksi dan pemeliharaan
untuk leukemia non limfositik akut, leukemia limfositis akut, leukemia
mielositik kronik yang mengalami remisi, profilaksis untuk pengobatan leukemia
meningeal.
Efek
Samping : Anoreksia, gangguan GI,
inflamasi dan ulserasi pada mulut,gangguan fungsi hati, demam, supresi sum-sum
tulang
Interaksi Obat : -
Frekuensi : 1 x sehari
Durasi : 5 hari
Dosis : 200 mg/m2 IV
pada hari 1 s.d. 5
=200 x 1,61 m2
= 322 mg
Analisis Biaya : sediaan = 100 mg x 1 (Rp 84.000)
1 hari à
butuh 3,5 vial ~ 400 mg
5 hari à
butuh 17,5 vial ~ 18 vial = 18
x Rp 84.000 = Rp 1.512.000
Alasan
Pemilihan : Daunorubicin dan cytarabin
merupakan 1st line therapy untuk leukemia yang baru dideteksi.
Terapi
suportif
a. Pemberian Nutrisi
CLINIMIX® (asam amino, gukosa, elektrolit)
Alasan : selama siklus terapi, pasien mengalami kehilangan nutrisi dan
kesulitan untuk mengkonsumsi makanan, maka dibutuhkan asupan nutrisi tambahan
Dosis : 0.35 g nitrogen/kgBB/hari =
19,25g/hari
Durasi : 20 jam/ hari
Frekuensi : 1 x sehari
IO : -
Biaya : Rp 250.000 / 1
L
b.Manajemen nyeri
ü Morfin
( MST Continus)
Alasan :Merupakan first
line pada terapi paliatif. Karena pasien sudah berada dalam level intensely
severe pain ( dilihat dari skala Mc Caffery M Pasero C), maka terapi yang
dilakukan dengan pengobatan paliatif sudah pada step 3 yakni menggunakan opioid
kuat yakni morfin.
Dosis: 10 mg
Frekuensi: 2 x sehari 1
tab
Durasi: 1 bulan
IO: -
Biaya: 1 tab Rp
3.639,00. 1 bulan= Rp 218.350,00
c.Pemberian anti
mual-muntah (antiemetik)
ü
Ondansetron
(DANTROXAL®)
Alasan : membutuhkan dosis
yang lebih kecil dalam menghasilkan efek yang sama
dibanding dengan
Dolansetron, serta terdapat di Indonesia.
Dosis : 0,15mg/kg IV = 8,25 mg/IV
Durasi:
Frekuensi: 1 x sehari
IO: -
Biaya:
8,25 mg x 7 = 57,75 mg = 7 ampul (8mg) + 1 ampul (4 mg) = (7 x 125.000)
+ (1x 77.000) = Rp 952.000
ü
Deksametason
(Dexa-M®)
Dosis : 12 mg IV
Frekuensi : 1x sehari
Durasi :
IO: -
Analisis biaya: 1 ampul
4mg/ml = Rp 2.500,-
Alasan
Pemilihan :
-
Cytarabin menginduksi mual muntah dengan level emetogenesis 2 (ringan),
sedangkan daunorubicin level emetogenesis kuat. Sehingga dibutuhkan kombinasi
antiemetik yang merupakan kombinasi SSRI dengan kortikosteroid (emetogenicity moderate—high)
-
Ondansetron,dolasetron,granisetron à
efikasi dan keamanannya >>> metoklopramid.
-
Kortikosteroid dikombinasikan dengan SSRI karena dengan penambahan
kortikosteroid akan meningkatkan efek antiemetik.
-
Biasanya kombinasi yg diberikan Ondansetron—dexametasone.
(Dipiro, 2005)
PEMBAHASAN
Kanker merupakan
kelompok penyakit yang dikarakterisasi oleh pertumbuhan sel yang tidk
terkontrol, disertai dengan invasi pada jaringan lokal atau penyebaran
sistemik, atau keduanya. Pada kasus kali ini, pasien didiagnosis menderita
kanker leukimia mieloid akut. Leukimia merupakan suatu bentuk keganasan
hematologi heterogen yang ditandai dengan proliferasi sel darah yang tidak
terkendali yang terbentuk di tulang sumsum. Perkembangan sel-sel leukimia yang
belum matang ini akan menghambat maturasi sel-sel normal dalam tulang sumsum,
sehingga menyebabkan timbulnya anemia, neutropenia, dan trombositopenia.
Sel-sel leukimia ini juga dapat menginfiltrasi berbagai macam jaringan, seperti
kelenjar getah bening, kulit, hati, limpa, ginjal, testis, dan sistem saraf
pusat. Disebut leukimia akut jika sel-sel yang berproliferasi adalah sel
immatur yang belum terdiferensiasi. Jika tidak segera ditangani, leukimia akut
dapat berkembang secara cepat dan progresif, dan dapat menyebabkan kematian dalam
waktu 2 sampai 3 bulan. (Leather and Poon, 2005)
Tipe
sel predominan yang terlibat pada leukemia adalah limfoid dan myeloid. Kemudian,
penyakit diklasifikasikan dengan jenis sel yang ditemukan pada sediaan darah
tepi. Ketika leukemia mempengaruhi limfosit
atau sel limfoid, maka disebut leukemia
limfositik. Ketika leukemia mempengaruhi sel mieloid seperti neutrofil,
basofil, dan eosinofil, maka
disebut leukemia
mielositik.
Manajemen kanker dapat
dibedakan menjadi 4, yaitu preventif, deteksi dini, terapi yang efektif, serta
terapi suportif. Untuk kasus kali ini, preventif dan deteksi dini sudah tidak
mungkin dilakukan karena diagnosis sudah ditegakkan. Jadi, manajemen yang masih
dapat diaplikasikan adalah terapi yang efektif dan terapi suportif.
Sedangkan tujuan terapi
kanker sendiri adalah kuratif, yaitu menyembuhkan kanker dan paliatif, yaitu
menghilangkan gejala untuk memperbaiki kualitas hidup dan atau memperpanjang
kemampuan hidup. Jenis terapi yang digunakan dalam kasus kali ini adalah
kemoterapi dan terapi simtomatik.
Tujuan jangka pendek
dari pengobatan untuk AML adalah untuk mencapai remisi lengkap dengan cepat
secara klinis dan hematologi. Dengan tidak adanya remisi lengkap, maka hasil
yang fatal dan cepat tidak dapat dielakkan. Remisi lengkap sendiri
didefinisikan sebagai hilangnya semua bukti klinis pada sumsum tulang (sel
normal> 20% dan pertmbuhan < 5%) dengan pemulihan hematopoiesis yang
normal (neutrofil ≥ 1.000 sel/mm3 dan trombosit > 100.000 sel/mm3).
(Leather and Poon, 2005)
Pengobatan pada leukemia
akut terdiri dari 3 fase, yaitu:
·
Fase 1:Terapi
induksi remisi (bertujuan untuk mempercepat induksi remisi klinik dan
hematologi lengkap)
·
Fase 2:Terapi
konsolidasi
·
Fase 3:
ü Pada ALL :
terapi pemeliharaan
ü Pada AML :
terdapat 2 pilihan, yaitu transplantasi hematopoietic stem cell atau
pemberhentian terapi).
Terapi induksi
pada AML menggunakan obat yang toksik untuk sel sumsum yang normal. Oleh karena
itu pasien memerlukan pelayanan suportif yang intensif selama periode toksik
kemoterapi induksi sebelum remisi diperoleh. Antara lain transfusi trombosit
untuk mencegah pendarahan. G-CSF untuk memperpendek periode neutropenia dan
antibiotic bakterisid dan tranfusi granulosit untuk melawan infeksi. Rancangan
pengobatan AML sebagai berikut:
Setelah dilakukan terapi induksi remisi,
jika terjadi remisi, pasien melakukan terapi berikutnya, akan tetapi apabila
terjadi kekambuhan pada saat pasien dalam keadaan remisi, obat yang sama dapat
digunakan untuk melakukan terapi induksi ulang. Jika terjadi resistensi, maka dilakukan terapi ulang
induksi dengan menggunakan obat lain dalam berbagai kombinasi.
Pada kasus ini pasien
sudah terdiagnosa AML dan telah menjalani terapi kemoterapi induksi dengan cytarabine dan
daunorubicin. Pasien megalami efek samping kemoterapi ‘tertunda/delayed
(seminggu setelah kemoterapi)’. Terapi induksi
menggunakan obat yang toksik untuk sel sumsum yang normal. Oleh karena itu
pasien memerlukan pelayanan suportif yang intensif selama periode toksik
kemoterapi induksi sebelum remisi diperoleh.
Untuk mengatasi nyeri
karena kanker, digunakan morfin. Morfin merupakan first line pada terapi
paliatif. Karena pasien sudah berada dalam level intensely severe pain (
dilihat dari skala Mc Caffery M Pasero C), maka terapi yang dilakukan dengan
pengobatan paliatif sudah pada step 3 yakni menggunakan opioid kuat yakni
morfin. Morfin menjadi pilihan karena tersedia dalam berbagai sediaan, memiliki
banyak rute pemberian seperti oral, rectal, IM, SC, IV, epidural, intratekal.
Morfin memiliki efek adiksi yang lebih tinggi dari yang lainnya.
Cytarabin menginduksi
mual muntah dengan level emetogenesis 2 (ringan), sedangkan daunorubicin level
emetogenesis kuat. Sehingga dibutuhkan kombinasi antiemetik yang merupakan
kombinasi SSRI dengan kortikosteroid (emetogenicity
moderate—high). Ondansetron, dolasetron, dan granisetron efikasi dan
keamanannya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan metoklopramid.
Kortikosteroid biasanya dikombinasikan dengan SSRI karena dengan penambahan
kortikosteroid akan meningkatkan efek antiemetik. Kombinasi yang biasa
diberikan adalah Ondansetron—dexametasone. (Leather and Poon, 2005)
Selain itu, diperlukan
juga penambahan nutrisi pada pasien, karena pasien mengalami kehilangan nutrisi dan kesulitan untuk
mengkonsumsi makanan, diakibatkan oleh mual muntah karena kemoterapi yang
diterima pasien. Nutrisi diberikan secara parenteral, yaitu Clinimix yang
berisi glukosa, asam amino, dan elektrolit. Dengan diberikannya tambahan
nutrisi, diharapkan kondisi pasien dapat segera membaik, sehingga kemoterapi
dapat dilanjutkan ke fase berikutnya.
Jika kondisi pasien
sudah membaik, maka terapi kanker dapat dilanjutkan dengan fase konsolidasi
(fase 2). Terapi yang direkomendasikan untuk 1 siklus adalah Daunorubicin HCl
selama 2 hari (1x sehari, dosis 96,6 mg) dan Cytarabine selama 5 hari (1x
sehari, dosis 322 mg). obat-obat ini dipilih karena merupakan first line terapi
pada AML. Lagipula, sebelumnya pasien pernah menjalani kemoterapi dengan
obat-obat ini, sehingga diharapkan pasien sudah lebih dapat menoleransi efek samping
yang diakibatkan oleh pemakaian obat-obat ini.
MONITORING DAN FOLLOW UP
- Pemeriksaan fisik setiap hari
- CBC dan kimia serum (asam urat, kalium, kalsium, posfat) secara intense setiap hari selama kemoterapi
- Biopsy dan aspirasi sumsum tulang belakang 7-10 hari setelah berakhirnya kemoterapi
- Monitoring demam pada penggunaan antibiotik pada celulitis
- Monitoring setiap hari bahwa infeksi celulitis sudah terkontrol, perlu dilakukan pemeriksaan ulang pada celulitis jika luka infeksi tidak membaik atau semakin terasa nyeri dan demam meningkat.
- Monitoring mual muntah setelah kemoterapi, jika masih terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam akan diberikan terapi akut mual muntah dan jika lebih dari 24 jam dengan penanganan delay mual muntah akibat kemoterapi
- jika kadar platelet kurang dari 5000-10.000/mm3 maka harus dilakukan transfusi platelet
- Jika kadar Hct kurang dari 25 % maka pasien harus diberi transfusi sel darah merah
- Dilakukan monitoring EKG karena kemoterapi yang digunakan mengakibatkan toksisitas kepada jantung
KOMUNIKASI, INFORMASI, DAN EDUKASI KEPADA PASIEN
- Bersihkan daerah luka infeksi celulitis dengan air hangat selama 15 menit
- Penyimpanan obat dalam vial berupa larutan di refrigerator dan dihindarkan dari sinar matahari
- Allopurinol diambil sesudah makan
- Pasien disarankan untuk banyak mengkonsumsi makanan bergizi seperti buah-buahan dan sayur-sayuran
- Diperlukan dukungan dari keluarga untuk membantu kesembuhan pasien
- Komunikasikan bahwa penggunaan obat (daunorubisin) akan menyebabkan urin berwarna kemerahan yang menandakan obat sedang bekerja
- Rambut rontok akibat kemoterapi merupakan hal yang wajar dan bersifat reversible setelah kemoterapi berakhir.
KESIMPULAN
1.
Pasien menderita leukemia AML
2.
Regimen kemoterapi yang
digunakan untuk fase konsolidasi adalah kombinasi Daunorubicin
dan Cytarabin, dimana Daunorubicin digunakan selama 2 hari dan Cytarabin
selama 5 hari.
3.
Terapi suportif yang
diberikan adalah antiemesis untuk mengatasi emesis kuat yang terjadi akibat
penggunaan obat-obat kemoterapi, disini digunakan kombinasi antiemesis
Ondansetron dan Dexamethason.
4.
Untuk mengatasi
nyeri kanker, digunakan analgetik step 3, yaitu morfin.
5.
Diberikan infus Clinimix untuk penambah nutrisi
pasien
6.
Perlu dilakukan
monitoring terhadap fungsi ginjal, hati dan jantung pasien, serta beberapa efek
samping yang mungkin terjadi akibat obat-obat yang digunakam.
7.
Pengobatan leukemia
cukup memakan waktu yang lama, maka perlu diberikan komunikasi kepada keluarga
pasien untuk selalu memberikan dukungan pada pasien, karena hal tersebut sangat
berpengaruh pada kebehasilan terapi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam 1994. Surabaya
: Tim Dokter RSUD dr.Sutomo
Anonim, 1994, Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo, Surabaya
Leather,
Helen L. and Betsy Bickert Poon, in Acute Leukimias, Dipiro, J.T., Talbert,
R.L., Yee, G.C. Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., (Eds), 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach,
seventh Edition, McGraw Hill, Medical Publishing Division, New York
Pick,
Amy M., Marcel Devetten, and Timothy R. McGuire, in Chronic Leukimias, Dipiro,
J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C. Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., (Eds),
2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic
Approach, seventh Edition, McGraw Hill, Medical Publishing Division, New
York
Robbins
dan Kumar, 1995, Buku Ajar Patologi I, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Simon, Sumanto, dr. Sp.PK, 2003, Neoplasma
Sistem Hematopoietik: Leukemia, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya,
Jakarta
Underwood,
J. C. E.,1999, Patologi Umum dan
Sistemik.VOL.1. Ed. 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Widmann.F.K,
1992, Tinjauan Klinis Atas Hasil
Pemeriksaan Laboratorium, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar