Sabtu, 23 Juni 2012

DEMAM TIPOID


BABI.
PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Demam Typoid
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002).
Penyakit Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi terutama menyerang bagian saluran pencernaan.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa.
1.2 Penyebab Demam Typoid
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella thypi dan Salmonella parathypi. Salmonela merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Salmonella memiliki karakteristik memfermentasikan glukosa dan mannose tanpa memproduksi gas, tetapi tidak memfermentasikan laktosa atau sukrose. Seperti Enterobacteriaceae yang lain Salmonella memiliki tiga macam antigen yaitu antigen O (tahan panas, terdiri dari lipopolisakarida), antigen Vi (tidak tahan panas, polisakarida), dan antigen H (dapat didenaturasi dengan panas dan alkohol). Antigen ini dapat digunakan untuk pemeriksaan penegak diagnosis. (Brooks, 2005).
1.3 Gejala Demam Typoid
Penyakit ini bisa menyerang saat bakteri tersebut masuk melalui makanan atau minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Kemudian mengikuti peredaran darah, bakteri ini mencapai hati dan limpa sehingga berkembang biak disana yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba.
Gejala klinik demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan dapat tanpa gejala (asimtomatik). Secara garis besar, tanda dan gejala yang ditimbulkan antara lain ;
1. Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang malamnya demam tinggi.
2. Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak akan merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas.
3. Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hatidan limpa, Akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut.
4. Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar).
5. Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas, pusing. Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut.
6. Pingsan, Tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi gangguan kesadaran.
1.4 Penularan Demam Typoid
Penyakit demam Tifoid ini bisa menyerang saat kuman tersebut masuk melalui makanan atau minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Dan melalui peredaran darah, kuman sampai di organ tubuh terutama hati dan limpa. Ia kemudian berkembang biak dalam hati dan limpa yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba.
1.5 Pencegahan
Untuk dapat mencegah penyakit ini harus tahu terlebih dahulu cara penularan dan faktor resikonya. Kuman S typhi menular melalui jalur oro-fekal, artinya kuman masuk melalui makanan atau minuman yang tercermar oleh feses yang mengandung S typhi. Di negara endemis seperti Indonesia, faktor resikonya antara lain makan makanan yang tidak disiapkan sendiri di rumah (karena tidak terjamin kebersihannya), minum air yang terkontaminasi, kontak dekat dengan penderita tifoid, sanitasi perumahan yang buruk, higiene perorangan yang tidak baik dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat.
Oleh karena itu, pencegahan yang paling sederhana adalah dengan mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air, menyiapkan makanan sendiri, tidak buang air besar sembarangan (di negara kita masih banyak keluarga yang tidak memiliki jamban sendiri), memasak makanan terlebih dahulu, bijak dalam menggunakan antibiotik.
Selain hal-hal di atas, saat ini sudah tersedia vaksin untuk tifoid. Ada 2 macam vaksin, yaitu vaksin hidup yang diberikan secara oral (Ty21A) dan vaksin polisakarida Vi yang diberikan secara intramuskular/disuntikkan ke dalam otot. Menurut FDA Amerika, efektivitas kedua vaksin ini bervariasi antara 50-80 %.
Vaksin hidup Ty21A diberikan kepada orang dewasa dan anak yang berusia 6 tahun atau lebih. Vaksin ini berupa kapsul, diberikan dalam 4 dosis, selang 2 hari. Kapsul diminum dengan air dingin (suhunya tidak lebih dari 37 oC), 1 jam sebelum makan. Kapsul harus disimpan dalam kulkas (bukan di freezer). Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan). Vaksin juga jangan diberikan pada orang yang sedang mengalami gangguan pencernaan. Penggunaan antibiotik harus dihindari 24 jam sebelum dosis pertama dan 7 hari setelah dosis keempat. Sebaiknya tidak diberikan kepada wanita hamil. Vaksin ini harus diulang setiap 5 tahun. Efek samping yang mungkin timbul antara lain, mual, muntah, rasa tidak nyaman di perut, demam, sakit kepala dan urtikaria.
Vaksin polisakarida Vi dapat diberikan pada orang dewasa dan anak yang berusia 2 tahun atau lebih. Cukup disuntikkan ke dalam otot 1 kali dengan dosis 0,5 mL. Vaksin ini dapat diberikan kepada orang yang mengalami penurunan sistem imun. Satu-satunya kontra indikasi vaksin ini adalah riwayat timbulnya reaksi lokal yang berat di tempat penyuntikkan atau reaksi sistemik terhadap dosis vaksin sebelumnya. Vaksin ini harus diulang setiap 2 tahun. Efek samping yang mungkin timbul lebih ringan dari pada jika diberikan vaksin hidup. Dapat timbul reaksi lokal di daerah penyuntikkan. Tidak ada data yang cukup untuk direkomendasikan kepada wanita hamil.



BAB II.
GAMBARAN EPIDEMIOLOGI

Penyakit Typhus atau Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi terutama menyerang bagian saluran pencernaan.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun dan tersebar di mana-mana. Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun.
Situasi penyakit Typhus (demam typhoid) di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2005 sebanyak 16.478 kasus, dengan kematian sebanyak 6 orang (CFR=1%). Berdasarkan laporan yang di terima oleh Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel dari beberapa kabupaten yang menunjukkan kasus tertinggi yakni Kota Parepare, Kota Makassar, Kota Palopo, Kab. Enrekang dan Kab. Gowa. Sedangkan untuk tahun 2006, tercatata jumlah penderita sebanyak 16.909 dengan kematian sebanyak 11 orang (CFR=0,07%) dan sebaran kasus tertinggi di Kab. Gowa, Kab. Enrekang, Kota Makassar dan Kota Parepare.
Pada tahun 2007 tercatat jumlah penderita sebanyak 16.552 dengan kematian sebanyak 5 orang (CFR=0,03 %) dengan sebaran kasus tertinggi di Kab.Gowa, Kab.Enrekang dan Kota Makassar. Penyakit typhus berdasarkan Riskesdas tahun 2007 secara nasional di Sulawesi Selatan, penyakit typhus tersebar di semua umur dan cenderung lebih tinggi pada umur dewasa. Prevalensi klinis banyak ditemukan pada kelompok umur sekolah yaitu 1,9%, terendah pada bayi yaitu 0,8%.
Dari data program tahun 2008 penyakit typhus tercatat jumlah penderita sebanyak 20.088 dengan kematian sebanyak 3 orang, masing-masing Kab. Gowa (1 orang) dan Barru (2 orang) atau CFR= 0,01 %. Insiden Rate (IR=0.28%) yaitu tertinggi di Kab.Gowa yaitu 2.391 kasus dan terendah di Kab. Luwu yaitu 94 kasus, tertinggi pada umur 15-44 tahun) sebanyak 15.212 kasus.
 


BAB III.
PEMBAHASAN
Demam Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemic) di Indonesia, mulai usia balita sampai orang dewasa. Prevalensi demam typhoid paling tinggi pada usia 15-44 tahun karena pada usia tersebut orang-orang cenderung memiliki aktivitas fisik yang banyak, atau dapat dikatakan sibuk dengan pekerjaan dan kemudian kurang memeperhatikan pola makannya, akibatnya mereka cenderung lebih memilih makan di luar rumah , atau jajan di tempat lain ,khususnya pada anak usia sekolah, yang mungkin tingkat kebersihannya masih kurang dimana bakteri Salmonella thypi banyak berkembang biak khususnya dalam makanan sehingga mereka tertular demam typhoid . Pada usia anak sekolah , mereka cenderung kurang memperhatikan kebersihan/hygiene perseorangannya yang mungkin diakibatkan karena ketidaktahuannya bahwa dengan jajan makanan sembarang dapat menyebabkan tertular penyakit demam typhoid.
Sedangkan pada anak-anak usia 0-1 tahun prevalensinya lebih rendah karena kelompok umur ini cenderung mengkonsumsi makanan yang berasal dari rumah masing-masing yang tingkat kebersihannya masih cukup baik dibanding yang dijual di warung-warung makanan (makanan yang diberikan dimasak sendiri oleh ibu bayi tersebut). Namun kelompok umur ini tidak dapat terhindar dari penyakit demam typhoid, mungkin salah satu akibatnya adalah tingkat hygine perseorangan dari ibu bayi tersebut. Mungkin ibu bayi tersebut kurang memperhatikan kebersihan makanan yang ia konsumsi, selanjutnya ibu tersebut menderita demam typhoid dan kemudian menularkan pada bayinya melalui makanan yang mengandung bakteri Salmonella thypi.
Perbedaan insiden demam typhoid di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang kurang memadai serta sanitasi lingkungan yang masih buruk di tempat tersebut . Dari tabel yang telah ditunjukkan di atas bahwa paling banyak penderita di kabupaten Gowa, hal ini disebabkan oleh sistem penyediaan air bersih oleh pihak pemerintah yang kurang memadai, misalnya air bersih yang disalurkan ke rumah-rumah penduduk masih mengandung bakteri Salmonella thypi akibat kurang efektifnya sistem kebersihan air minum tersebut.
Tingginya kasus demam typhoid juga dapat disebabkan oleh masih banyaknya masyarakat di Kabupaten Gowa yang masih menggunakan jamban yang tidak memenuhi standar kesehatan ( masih menggunakan wc cemplung) atau masih membuang air besar di saluran air atau sungai sehingga penyebaran bakteri Salmonella thypi sebagai agen penyebab demam typhoid lebih tinggi dibandingkan di kabupaten Luwu.
Penyebab lainnya yaitu kebiasaan masyarakat Kabupaten Gowa yang kurang memperhatikan tempat pembuangan sampah, dimana hal ini dapat menyebabkan lalat dapat berkumpul banyak dan tingkat penyebaran demam typhoid akan lebih tinggi disbanding Kabupaten Luwu yang memilki tempat pembuangan sampah yang lebih terorganisir.
Tingginya prevalensi kasus demam typhoid juga dapat dipengaruhi oleh kebiasaan cara makan masyarakat di kabupaten Gowa, misalnya kebiasaan makan menggunakan tangan (tanpa menggunakan sendok) yang terbukti dapat meningkatkan frekuensi terular penyakit demam typhoid disbanding yang menggunakan sendok, terlebih lagi jika tidak ada kebiasaan mencuci tangan sebelum makan.
Dari berbagai penelitian terhadap demam typhoid, penyakit ini dapat timbul sepanjang tahun. Menurut waktu, dari tabel di atas dapat diketahui paling banyak jumlah penderita demam Typhoid pada bulan April sebesar 2350 penderita, dan terendah pada bulan November yaitu sebanyak 707 penderita. Hal ini dapat disebabkan oleh karena bulan April merupakan musim kemarau, dimana pada masa seperti inilah bakteri Salmonella thypi dapat berkembang biak dengan cepat sehingga prevalensi demam typhoid juga cenderung meningkat bila dibandigkan bulan November yang merupakan musim penghujan.


BAB IV.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Demam Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemic) di Indonesia, mulai usia balita sampai orang dewasa.
2. Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella thypi dan Salmonella parathypi. Salmonela merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae.
3. Penyakit demam Tifoid ini bisa menyerang saat kuman tersebut masuk melalui makanan atau minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Dan melalui peredaran darah, kuman sampai di organ tubuh terutama hati dan limpa.
4. Pencegahan terjadinya demam typhoid:
a. mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air
b. menyiapkan makanan sendiri
c. tidak buang air besar sembarangan (di negara kita masih banyak keluarga yang tidak memiliki jamban sendiri)
d. memasak makanan terlebih dahulu
e. bijak dalam menggunakan antibiotik.
5. Distribusi demam typhoid menurut orang, jumlah penderita demam typhoid paling tinggi pada usia 15-44 tahun yaitu sebesar 8154 penderita dan yang paling rendah pada usia 0-1 tahun sebesar 184 penderita.
6. Distribusi demam typhoid menurut tempat, jumlah penderita paling tinggi terdapat di daerah kabupaten Gowa yaitu sebanyak 2350 penderita dan paling rendah terdapat di kabupaten Luwu yaitu sebanyak 94 penderita.
7. Distribusi demam typhoid menurut waktu, dapat diketahui paling banyak jumlah penderita demam Typhoid pada bulan April sebesar 2350 penderita, dan terendah pada bulan November yaitu sebanyak 707 penderita. Hal ini dapat disebabkan oleh karena bulan April merupakan musim kemarau, dimana pada masa seperti inilah bakteri Salmonella thypi dapat berkembang biak dengan cepat sehingga prevalensi demam typhoid juga cenderung meningkat bila dibandingkan bulan November yang merupakan musim penghujan.
4.2 Saran
1. Program pencegahan penyakit demam typhoid hendaknya lebih dioptimalkan dengan melibatkan berbagai sector, baik itu masyarakat, pemerintah, dan petugas pelayanan kesehatan.
2. Peningkatan sanitasi terhadap lingkungan dan hygiene perorangan hendaknya lebih mendapatkan perhatian penuh dan dilakukan upaya promotif untuk mencegah, mengurangi bahkan menghilangkan kejadian penyakit demam typhoid.


DEMAM BERDARAH (DENGUE)

 
I.PENDAHULUAN



A.      Latar Belakang Masalah


Demam berdarah dengue (DBD), merupakan penyakit yang masih sering terjadi di berbagai daerah. Hal ini dikarenakan nyamuk penular dan virus penyebab penyakit ini hidup di sekitar kita. Pada tahun 1968, di Indonesia mulai ditemukan kasus penyakit demam berdarah dengue (DBD) terutama di Jakarta dan Surbaya. Masalah ini merupakan masalah klasik, karena kejadiannya hampir disetiap tahun, khususnya di awal musim penghujan. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan kerugian dalam bentuk materi berupa biaya pengobatan tetapi juga pengorbanan moril (korban jiwa) (Soedarmono 1988 dalam Kardinan, 2007).

Penyakit demam berdarah ini merupakan penyakit yang banyak menyerang penduduk di negara yang beriklim tropis. Hal ini dikarenakan, negara-negara tersebut memiliki kisaran suhu yang sama dengan kisaran suhu optimum bagi kehidupan nyamuk. Penyakit ini mulai ditemukan di Asia Tenggara setelah Perang Dunia II dan selama 15 tahun terakhir menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat dunia (Hastowo et al 1992 dalam Sanjaya dkk, 2006).






Di Indonesia, kasus demam berdarah pada umumnya terjadi di kota-kota dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta. Namun seiring perkembangan daerah dan mobilitas penduduk yang tinggi, penyakit ini sudah menyebar hampir diseluruh wilayah di tanah air (Hastowo et al 1992 dalam Sanjaya dkk, 2006).

DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue.  Penderita demam berdarah akan ditandai dengan gejala klinis berupa demam tinggi yang berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, pendarahan yang biasanya didahului tanda khas berupa bintik-bintik merah (petechia) pada penderita, hepatomegali dan kegagalan peredaran darah.  Vektor utama dari demam berdarah adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor potensial (Hoedojo dkk, 1998).

Demam berdarah ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, dengan cara mengisap darah korban dan memindahkan virus penyakit demam berdarah ke tubuh orang lain (Hastowo et al 1992 dalam Sanjaya dkk, 2006).

Menurut Roche (2004), penyakit demam berdarah yang ditularkan oleh nyamuk Aedes terbagi dalam dua golongan, yaitu demam dengue (Dengue Fever) dan demam berdarah dengue (DBD). Demam dengue (Dengue Fever) atau lebih dikenal di Indonesia sebagai penyakit cikunguya (Break Bone Fever) yang menyerang persendian tulang, namun tidak berakibat fatal (kematian) bagi manusia yang ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus (nyamuk kebun), sedangkan demam berdarah dengue (DBD)  ditularkan oleh Aedes aegypti. Virus demam berdarah (Dengue Flavivirus) terdiri dari 4 serotypes (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4). Jika seseorang pernah terinfeksi oleh salah satu serotypes, maka biasanya akan kebal terhadap serotypes tersebut dalam jangka waktu tertentu. Namun tidak akan kebal terhadap serotypes lainnya, melainkan akan menjadi sensitif terhadap serangan demam berdarah Dengue Hemorrhagic Fever (Roche 2004 dalam Kardinan, 2007)

Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan dalam mengendalikan vektor DBD ini, salah satunya yaitu dengan penggunaan insektisida kimia yang dianggap lebih efektif dalam menanggulangi vektor. Namun, penggunaan insektisida kimia yang terus menerus dalam jangka waktu yang  lama akan menimbulkan resistensi terhadap serangga target. Hal ini terkait karena kemampuan vektor dalam mengembangkan sistem kekebalan tubuhnya terhadap insektisida yang sering digunakan dalam pengendalian nyamuk (Nusa dkk, 2008).

Cara lain dalam pengendalian nyamuk, yaitu dengan menghindari gigitan nyamuk. Salah satunya dengan pemakaian anti nyamuk berbentuk lotion, cream, ataupun pakaian yang dapat melindungi tubuh dari gigitan nyamuk. Di Indonesia, hampir semua lotion anti nyamuk yang beredar mengandung bahan kimia sintetis dan berbahan aktif DEET (Diethyl toluamide). Bahan kimia sintesis mengandung racun, dalam konsentrasi 10-15% dan akan berbahaya khususnya bagi anak-anak apabila penggunaanya kurang hati-hati. Bahan aktif DEET ini tidak akan larut dalam air, menempel pada kulit selama 8 jam dan akan terserap masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori kulit menuju sirkulasi darah. Hanya 10-15% yang akan terbuang melalui urin (Gunandini 2006 dalam Kardinan, 2007).
Oleh karena itu untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dari penggunaan insektisida kimia dan bahan kimia sintesis yang mengandung racun. Diperlukan cara lain yang lebih aman, efektif dan efisien serta ramah lingkungan, yaitu insektisida yang berasal dari tumbuh – tumbuhan.

Ada beberapa tanaman yang memiliki bau yang khas dan yang aromanya tidak disukai oleh nyamuk. Tanaman-tanaman tersebut mengandung insektisida alami dari berbagai senyawa metabolik sekunder yang dihasilkannya, sehingga mengeluarkan bau yang khas dan tidak disukai oleh nyamuk. Tanaman ini terbagi dalam dua jenis, yaitu tanaman yang secara langsung dapat mengusir nyamuk karena aroma yang dikeluarkan tanaman tersebut,  seperti : geranium, selasih, zodia dan suren dan tanaman yang dapat menghasilkan zat pengusir nyamuk yang sebelumnya harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu, seperti : lavender, kayu putih, serai wangi, akar wangi, cengkeh dan nimba (Pradani 2007 dalam Depkes RI, 2007).

Salah satu tanaman yang mudah di dapat dan bermanfaat ganda bagi manusia adalah daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb). Pandan  wangi adalah tanaman yang sering dimanfaatkan dalam pengolahan makanan, komponen hiasan dalam penyajian makanan dan menghasilkan metabolit sekunder, salah satunya mengandung insektisida berupa saponin. Menurut Rohmawati (1995), kandungan kimia yang ada di daun pandan wangi adalah senyawa pahit berupa polifenol, flavonoid, saponin, minyak astiri dan alkaloid (Rohmawati 1995 dalam Susanna dkk, 2003).

B.       Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1.    Pengaruh daya tolak ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap nyamuk Ae. aegypti pada berbagai konsentrasi.
2.    Pengaruh persistensi (lamanya waktu) ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) yang dioleskan pada lengan uji terhadap nyamuk Ae. aegypti.

C.      Manfaat Penelitian

Sebagai informasi tambahan kepada masyarakat tentang manfaat ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) yang dapat digunakan sebagai zat penolak terhadap nyamuk Ae. aegypti.

D.      Kerangka Pikir

Salah satu yang penyebab wabah DBD di Indonesia berkembang dengan pesat adalah faktor lingkungan yang cocok sebagai tempat perindukan (suhu) vektor DBD ini yaitu nyamuk Ae. aegypti. 

Nyamuk Ae. aegypti merupakan serangga yang memiliki siklus hidup yang sempurna dan hidupnya tersebar luas didaerah-daerah yang beriklim panas dan dingin terutama pada genangan-genangan air, tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari dan tempat penampungan air alamiah (lubang pohon, pelepah daun potongan bambu, dll).

Kurangnya tingkat kesadaran masyarakat kita dalam menjaga kebersihan di lingkungan sekitarnya merupakan pemicu mudahnya wabah DBD menyebar di Indonesia.

Berbagai cara telah dilakukan untuk mengendalikan dan mencegah berkembangnya nyamuk vektor DBD ini, seperti dengan cara fogging (pengasapan dengan bahan kimia). Banyaknya bahan kimia yang sering digunakan dalam mengendalikan perkembangan nyamuk ini menimbulkan dampak langsung terhadap lingkungan hidup dan dapat memicu masalah masalah baru, yaitu resistensi terhadap serangga target.  Contoh kasus, resistensi pernah terjadi pada penggunaan pertisida DDT terhadap nyamuk, dimana pertama kali digunakan tahun 1946. Sejak itulah lebih dari seratus spesies nyamuk resisten terhadap satu insektisida ini. Hal ini dikarenakan nyamuk dan vektor serangga lainnya mampu mengembangkan sistem kekebalan terhadap insektisida yang sering digunakan dan nyamuk yang sudah menjadi resisten akan menurunkan sifat resisten mereka kepada keturunannya. Terdapat 3 cara masuknya insektisida ke dalam tubuh serangga, yaitu melalui kulit (racun kontak), melalui mulut (racun perut/pencernaan) dan melalui sistem jalan nafas (racun pernafasan).

Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif lain dalam mengendalikan vektor penyebab demam berdarah tersebut, yaitu dengan cara menggunakan tanaman yang tidak disukai nyamuk tetapi tidak berbahaya bagi lingkungan hidup. Salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan dan ramah lingkungan adalah dengan menggunakan ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap nyamuk Ae. aegypti.

Pandan wangi merupakan tanaman yang sangat bermanfaat bagi manusia dan memiliki bau yang khas. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman yang bersifat toksik dan memiliki beberapa senyawa metabolit sekunder berupa berupa alkaloida, saponin, sterol, terpenoid, flavonoida, tanin, polifenol, dan zat warna. Bau khas yang dimilikinya berasal dari komponen aroma dasar dari senyawa kimia 2-acetyl-1-pyrroline (ACPY) yang juga terdapat di tumbuhan jasmin.

Berdasarkan informasi di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui uji daya tolak ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap nyamuk Ae. aegypti.

E.       Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) dapat digunakan sebagai penolak (repellent) nyamuk Ae. aegypti.


LEUKEMIA
TUJUAN
Agar mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan terapi pada penyakit leukemia, serta dapat menyampaikan informasi yang dibutuhkan.

DASAR TEORI
Kanker
            Kanker merupakan suatu kelompok dari banyak penyakit-penyakit yang berhubungan. Semua kanker-kanker mulai di sel-sel, yang membentuk darah dan jaringan-jaringan lain. Secara normal, sel-sel tumbuh dan membelah untuk membentuk sel-sel baru ketika tubuh membutuhkan mereka. Ketika sel-sel tumbuh menjadi tua, mereka mati, dan sel-sel baru mengambil tempat mereka. Adakalanya proses yang teratur ini berjalan salah. Sel-sel baru terbentuk ketika tubuh tidak memerlukan mereka, dan sel-sel tua tidak mati ketika mereka seharusnya mati.
            Kanker (suatu penyakit sel) ditandai dengan suatu pergeseran pada mekanisme kontrol yang mengatur proliferasi dan diferensiasi sel. Sel yang sudah mengalami transformasi neoplastik biasanya mengekspresikan antigen permukaan sel yang tampaknya merupakan tipe normal dan memiliki tanda ketidakmatangan yang jelas dan dapat menunjukkan kelainan kromoson baik kualitatif maupun kuantitatif, termasuk pelbagai traslokasi dan munculnya pengerasan dari rangkaian gen. Sel-sel tadi berkembang dengan cepat dan membentuk tumor lokal yang dapat menekan atau menyerang struktur jaringan sehat di sekitarnya. Subpopulasi sel yang berada dalam tumor dapat digambarkan sebagai ’sel induk tumor’, yang memiliki kemampuan untuk mengulangi siklus proliferasi berkali-kali dan berpindah ke sisi yang jauh di dalam tubuh untuk membentuk koloni dalam berbgai organ tubuh, proses ini disebut metastase. Induk sel tumor dapat mengekspresikan klonogenik atau kemampuan untuk membentuk koloni. Sel induk memiliki kelainan kromosom yang merefleksikan ketidakseimbangan genetiknya, yang mengarah pada seleksi subklon yang progresif yang dapat bertahan dan berkembang lebih cepat dalam lingkungan multiseluler tubuh. Kelainan kuantitatif dalam pelbagai alur metabolisme dan komponen selular berkaitan dalam perkembangan neoplastik ini. Proses invasif dan metastatik demikian pula kelainan metabolisme akibat kanker akan menyebabkan penyakit dan akhirnya kematian kecuali kanker dapat disembuhkan dengan pengobatan.    
Leukemia
            Leukemia adalah suatu tipe dari kanker. Leukemia berasal dari kata Yunani leukos-putih, haima-darah. Leukemia adalah kanker yang mulai di sel-sel darah. Penyakit ini terjadi ketika sel darah memiliki sifat kanker yaitu membelah tidak terkontrol dan mengganggu pembelahan sel darah normal. Leukemia (kanker darah) adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darh putih yang diproduksi oleh sumsum tulang (bone marrow).
Sel-Sel Darah Normal
            Sel-sel darah terbentuk di sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang adalah material yang lunak dipusat dari kebanyakan tulang-tulang. Sel-sel darah yang belum menjadi dewasa (matang) disebut sel-sel induk (stem cells) dan blasts. Kebanyakan sel-sel darah menjadi dewasa didalam sumsum tulang dan kemudian bergerak kedalam pembuluh-pembuluh darah. Darah yang mengalir melalui pembuluh-pembuluh darah dan jantung disebut peripheral blood.
Sumsum tulang membuat tipe-tipe yang berbeda dari sel-sel darah. Setiap tipe mempunyai suatu fungsi yang khusus:
-          Sel-sel darah putih membantu melawan infeksi.
-          Sel-sel darah merah mengangkut oksigen ke jaringan-jaringan diseluruh tubuh.
-          Platelet-platelet membantu membentuk bekuan-bekuan (gumpalan-gumpalan) darah yang mengontrol perdarahan.
Sel-Sel Leukemia
            Pada kondisi leukemia, sel darah putih tidak merespon signal yang dikirim oleh tubuh, sehingga sel-sel pembentuk darah pada sumsum tulang dan jaringan limfoid memperbanyak diri secara tidak normal atau mengalami transformasi maligna. Sel-sel normal pada sumsum tulang diganti dengan sel abnormal yang kemudian keluar dari sumsum dan ditemukan di dalam darah. Sel leukemia ini mempengaruhi hematopoiesis (pembentukan sel darah normal) dan imunitas tubuh penderita. Sel leukemia menghasilkan FGFs (Fibroblast Growth Factors) yang mengacaukan fungsi autokrin dan parakrin pada sumsum tulang dan menstimulasi produksi sitokin oleh sel stroma dan endotelium. FGFs juga mengacaukan variasi tipe sel mesodermal dan neuroectodermal yang berakibat perubahan proliferasi, pergerakan, ketahanan dan diferensiasi sel. FGFs mengacaukan aktivitas tersebut dengan berikatan pada reseptor protein kinase dan permukaan sel heparan sulfate proteoglycans. Sehingga penderita mudah terkena infeksi, anemia dan pendarahan akibat gangguan pembentukan darah.
Etiologi
            Penyebab dari penyakit ini tidak diketahui secara pasti.  Bagaimanapun, penelitian telah menunjukan bahwa orang-orang dengan faktor-faktor risiko tertentu lebih mungkin daripada yang lain-lain mengembangkan leukemia. Suatu faktor risiko adalah apa saja yang meningkatkan kesempatan seseorang mengembangkan suatu penyakit.

Faktor yang diduga mempengaruhi frekuensi terjadinya leukemia yaitu:
1)      Radiasi
            Berdasarkan laporan riset menunjukkan bahwa :  
  • Para pegawai radiologi lebih beresiko untuk terkena leukemia
  • Pasien yang menerima radioterapi beresiko terkena leukemia
  • Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang
2)      Faktor leukemogenik
            Terdapat beberapa zat kimia yang telah diidentifikasi dapat mempengaruhi frekuensi         leukemia:
  • Racun lingkungan seperti benzena à Paparan pada tingkat-tingkat yang tinggi dari benzene pada tempat kerja dapat menyebabkan leukemia
  • Bahan kimia industri seperti insektisida dan Formaldehyde.
  • Obat untuk kemoterapi à Pasien-pasien kanker yang dirawat dengan obat-obat melawan kanker tertentu adakalanya dikemudian hari mengembangkan leukemia. Contohnya, obat-obat yang dikenal sebagai agen-agen alkylating dihubungkan dengan pengembangan leukemia bertahun-tahun kemudian.
3)      Herediter
Penderita sindrom Down, suatu penyakit yang disebabkan oleh kromosom-kromosom abnormal mungkin meningkatkan risiko leukemia. Ia memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar dari orang normal.
4)      Virus
Virus dapat menyebabkan leukemia seperti retrovirus, virus leukemia feline, HTLV-1 pada dewasa.
Patofisiologi
            Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan  kita dengan infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai dengan perintah, dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh kita. Lekemia meningkatkan produksi sel darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel lekemia memblok produksi sel  darah putih yang normal , merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel lekemia juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan. Menurut Smeltzer dan Bare (2001) analisa sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau perubahan struktur, yang termasuk translokasi ini, dua atau lebih kromosom mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.
            Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan genetik sel yang kompleks). Penyusunan kembali kromosom (translokasi kromosom) mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya, termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal dan otak.

            Tipe-Tipe Leukemia
v  Berdasarkan kecepatan perkembangannya, leukemia dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Leukemia Akut
Perjalanan penyakit pada leukemia akut sangat cepat, mematikan dan memburuk. Dapat dikatakan waktu hidup penderita tanpa pengobatan hanya dalam hitungan minggu bahkan hari. Leukemia kaut merupakan akibat dari terjadinya komplikasi pada neoplasma hematopoietik secara umum.
2.      Leukemia kronis
Berbeda dengan akut, leukemia kronis memiliki perjalanan penyakit yang tidak begitu cepat, sehingga dapat dikatakan bahwa waktu hidup penderita tanpa pengobatan dalam hitungan samapi 5 tahun.

v  Berdasarkan jenis sel kanker, leukemia diklaifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu:
1.      Myelocytic/Myelogeneus leukemia
Sel kanker yang berasal dari sel darah merah, granulocytes, macrophages dan keping darah.
2.      Lymphocytic leukemia
Sel kanker yang berasal dari lymphocyte cell.

v  Berdasarkan kedua klasifikasi di atas, maka leukemia dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
a.       Leukemia limfositik akut (LLA).
Merupakan tipe leukemia paling sering terjadi pada anak-anak. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang terutama telah berumur 65 tahun atau lebih.
b.       Leukemia mielositik akut (LMA).
Ini lebih sering terjadi pada dewasa daripada anak-anak. Tipe ini dahulunya disebut leukemia nonlimfositik akut.
c.         Leukemia limfositik kronis (LLK).
Hal ini sering diderita oleh orang dewasa yang berumur lebih dari 55 tahun. Kadang-kadang juga diderita oleh dewasa muda, dan hampir tidak ada pada anak-anak. Sebagian besar leukosit pasien di atas 50.000/µL.
d.      Leukemia mielositik kronis (LMK)
Sering terjadi pada orang dewasa. Dapat juga terjadi pada anak-anak, namun sangat sedikit. Leukosit dapat mencapai lebih dari 150.000/ µL yang memerlukan pengobatan.

Gejala-Gejala Leukemia
            Seperti semua sel-sel darah, sel-sel leukemia berjalan keseluruh tubuh. Tergantung pada jumlah sel-sel abnormal dan dimana sel-sel ini berkumpul, pasien-pasien dengan leukemia mungkin mempunyai sejumlah gejala-gejala.
Gejala-gejala umum dari leukemia:
-          Demam-demam atau keringat-keringat waktu malam
-          Infeksi-infeksi yang seringkali
-          Perasaan lemah atau lelah
-          Sakit kepala
-          Perdarahan dan mudah memar (gusi-gusi yang berdarah, tanda-tanda keungu-unguan pada kulit, atau titik-titik merah yang kecil dibawah kulit)
-          Nyeri pada tulang-tulang atau persendian-persendian
-          Pembengkakan atau ketidakenakan pada perut (dari suatu pembesaran limpa)
-          Pembengkakan nodus-nodus getah bening, terutama pada leher atau ketiak
-          Kehilangan berat badan
            Gejala-gejala semacam ini bukanlah tanda-tanda yang pasti dari leukemia. Suatu infeksi atau persoalan lain juga dapat menyebabkan gejala-gejala ini. Siapa saja dengan gejala-gejala ini harus mengunjungi dokter sesegera mungkin. Hanya seorang dokter dapat mendiagnosa dan merawat persoalannya.
            Pada tingkat-tingkat awal dari leukemia kronis, sel-sel leukemia berfungsi hampir secara normal. Gejala-gejala mungkin tidak nampak untuk suatu waktu yang lama. Dokter-dokter seringkali menemukan leukemia kronis sewaktu suatu checkup rutin — sebelum ada gejala-gejala apa saja. Ketika gejala-gejala nampak, mereka umumnya adalah ringan pada permulaan dan memburuk secara berangsur-angsur.
            Pada leukemia akut, gejala-gejala nampak dan memburuk secara cepat. Orang-orang dengan penyakit ini pergi ke dokter karena mereka merasa sakit. Gejala-gejala lain dari leukemia akut adalah muntah, bingung, kehilangan kontrol otot, dan serangan-serangan (epilepsi). Sel-sel leukemia juga dapat berkumpul pada buah-buah pelir (testikel) dan menyebabkan pembengkakan. Juga, beberapa pasien-pasien mengembangkan luka-luka pada mata-mata atau pada kulit. Leukemia juga dapat mempengaruhi saluran pencernaan, ginjal-ginjal, paru-paru, atau bagian-bagian lain dari tubuh.
Mendiagnosa Leukemia
            Jika seseorang mempunyai gejala-gejala yang menyarankan leukemia, dokter mungkin melakukan suatu pemeriksaan fisik dan menanyakan tentang sejarah medis pribadi pasien dan keluarga. Dokter juga mungkin meminta tes-tes laboratorium, terutama tes-tes darah.
Pemeriksaan-pemeriksaan dan tes-tes mungkin termasuk yang berikut:
1.    Pemeriksaan Fisik—Dokter memeriksa pembengkakan nodus-nodus getah bening, limpa, dan hati.
2.    Tes-Tes Darah—Laboratorium memeriksa tingkat sel-sel darah. Leukemia menyebabkan suatu tingkatan sel-sel darah putih yang sangat tinggi. Ia juga menyebabkan tingkatan-tingkatan yang rendah dari platelet-platelet dan hemoglobin, yang ditemukan didalam sel-sel darah merah. Lab juga mungkin memeriksa darah untuk tanda-tanda bahwa leukemia telah mempengaruhi hati dan ginjal-ginjal.
3.    Biopsi—Dokter mengangkat beberapa sumsum tulang dari tulang pinggul atau tulang besar lainnya. Seorang ahli patologi memeriksa contoh dibahwah sebuah mikroskop. Pengangkatan jaringan untuk mencari sel-sel kanker disebut suatu biopsi. Suatu biopsi adalah cara satu-satunya yang pasti untuk mengetahui apakah sel-sel leukemia ada didalam sumsum tulang.
Ada dua cara dokter dapat memperoleh sumsum tulang. Beberapa pasien-pasien akan mempunyai kedua-duanya prosedur:
·         Bone marrow aspiration (Penyedotan sumsum tulang): Dokter menggunakan sebuah jarum untuk mengangkat contoh-contoh dari sumsum tulang.
·         Bone marrow biopsy (Biopsi Sumsum Tulang): Dokter menggunakan suatu jarum yang sangat tebal untuk mengangkat sepotong kecil dari tulang dan sumsum tulang.
4.        Cytogenetics—Lab melihat pada kromosom-kromosom dari sel-sel dari contoh-contoh dari peripheral blood, sumsum tulang, atau nodus-nodus getah bening.
5.        Spinal tap—Dokter mengangkat beberapa dari cairan cerebrospinal (cairan yang mengisi ruang-ruang di dan sekitar otak dan sumsum tulang belakang). Dokter menggunakan suatu jarum panjang yang kecil untuk mengangkat cairan dari kolom tulang belakang (spinal column). Prosedur memakan waktu kira-kira 30 menit dan dilaksanakan dengan pembiusan lokal. Pasien harus terbaring untuk beberapa jam setelahnya untuk mempertahankannya dari mendapat sakit kepala. Lab memeriksa cairan untuk sel-sel leukemia dan tanda-tanda lain dari persoalan-persoalan.
6.        Chest x-ray—X-ray dapat mengungkap tanda-tanda dari penyakit di dada.

Penanganan penyakit leukemia biasanya dimulai dari gejala yang muncul, seperti anemia, perdarahan dan infeksi. Secara garis besar penanganan dan pengobatan leukemia bisa dilakukan dengan tunggal ataupun gabungan dari beberapa metode dibawah ini:

1.      Chemotherapy/intrathecal medications
2.      Therapy Radiasi. Metode ini sangat jarang sekali digunakan
3.      Transplantasi bone marrow (sumsum tulang)
4.      Pemberian obat-obatan tablet dan suntik
5.      Transfusi sel darah merah atau platelet.
Pengobatan pada leukemia akut terdiri dari 3 fase, yaitu terapi induksi remisi (bertujuan untuk mempercepat induksi remisi klinik dan hematologi lengkap), terapi konsolidasi, dan terapi pemeliharaan pada ALL (untuk AML terdapat 2 pilihan, yaitu transplantasi hematopoietic stem cell atau pemberhentian terapi).

Pilihan terapi pada ALL, sebagai berikut:
Sedangkan terapi pada AML, terapi induksi menggunakan obat yang toksik untuk sel sumsum yang normal. Oleh karena itu pasien memerlukan pelayanan suportif yang intensif selama periode toksik kemoterapi induksi sebelum remisi diperoleh. Antara lain transfuse trombosit untuk mencegah pendarahan. G-CSF untuk memperpendek periode neutropenia dan antibiotic bakterisid dan tranfusi granulosit untuk melawan infeksi. Rancangan pengobatan AML sebagai berikut:

Setelah dilakukan terapi induksi remisi, jika terjadi remisi, pasien melakukan terapi berikutnya, akan tetapi apabila terjadi kekambuhan pada saat pasien dalam keadaan remisi, obat yang sama dapat digunakan untuk melakukan terapi induksi ulang. Jika terjadi resistensi, maka dilakukan terapi ulang induksi dengan menggunakan obat lain dalam berbagai kombinasi.
Sedangkan untuk terapi leukemia mielogenus kronis, terapi bertujuan untuk menurunkan granulosit ke dalam jumlah yang normal, meningkatkan konsentrasi hemoglobin sampai normal, dan menghilangkan gejala metabolik. Sediaan yang digunakan untuk memperoleh remisi adalah dengan interferon alfa IV atau busulfan IV, dengan alkilator oral atau dengan hidroksiurea. Terapi penyinaran local pada limpa juga digunakan. Tahap awal penyakit, pengobatan dimaksudkan untuk mengecilkan ukuran limpa dengan cepat, menurunkan jumlah leukosit dan meningkatkan perasaan sehat pada pasien. Untuk pasien berumur < 55 tahun sebaiknya melakukan transplantasi sumsum tulang alogenik ketika pasien remisi dan sebaiknya dalam tahun pertama setelah diagnosis ditegakkan.
Pada LLK, pengobatan berbeda dengan LMK. Pada LMK, neoplasma proliferative memerlukan pengobatan sistemik untuk simptomatik, sedangkan pada LLK hasil dari akumulasi lambat limfosit monoclonal B. Pada pasien yang penyakitnya terbatas pada limfositosis darah perifer, sebaiknya tidak dilakukan pengobatan, kecuali jumlah limfosit di atas 150.000/µL. terapi menggunakan kortikosteroid, alkilator atau fludarabin. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan manifestasi sistemik penyakit. Terapi dihentikan ketika keadaan pasien sudah stabil, dengan tetap melakukan monitoring untuk mendeteksi gejala yang kembali timbul.   
   
DESKRIPSI KASUS
            Seorang wanita 50 tahun, masuk RS dengan keluhan mual dan muntah yang menetap, rigor, nyeri mulut yang parah satu minggu setelah kemoterapi dimulai. Tiga minggu yang lalu dia masuk UGD dengan fatigue yang progresif, kurang energy dalam beberapa minggu, sakit tenggorokan, kongesti nasal dan radang gusi. Hasil pemeriksaan dia didiagnosis AML (Acut Myelogenous Leukimia) dan dimulai kemoterapi induksi dengan cytarabine dan daunorubicin.
Hasil pemeriksaan fisik :

KU       : diaphoretic, lemah
VS       :
-          TB 168 cm
-          BB 55,5 kg
-          BP 110/56 mmHg
-                     Suhu badan 39,50 C
-          RR  20 (12-18x/menit)
-          HR 100 (60-80 x/menit)
-          BSA  1,6 m2

HEENT                                    : Gingival hyperplasia, erythematous buccal cavity
COR, CHEST, EXT, NEURO  : Normal
Hasil tes pemeriksaan              :
                                                                        Normal:
Na        : 138   (normal)                                   135-150 mmol/L
K         : 3.1     (rendah)                                   3,5-5 mmol/L                          
Cl         : 115    (tinggi)                                    98-107 mmol/L
HCO3   : 22      (rendah)                                   24 mEq/L
BUN    : 9        (normal)                                   8-20 mg/dL
Cr        : 1        (normal)                                   0,6-1,2 mg/dL
Hct       : 21      (rendah)                                   35-45 %
Hgb      : 8        (rendah)                                   12-15,5g/dL
Lkc      : 0.3 x 103 (rendah)                                        4,8-10,8 x 103/mm3
Plts       : 134 x 103 (rendah)                                      150-450 x 103/mm3
Ca        : 8.0     (rendah)                                   8,5-10 mg/dL
PO4      : 2        (rendah)                                   2,5-4,5 mg/dL
PT        : 10      (rendah)                                   11,5-14,5 detik
INR      : 1.8     (rendah)                                   2,0-2,5

Bone marrow biopsy   : hypocellular marrow
Peripheral smear          : no blast
Blood culture               : negatif
CXR                            : normal

PEMILIHAN OBAT RASIONAL
Kemoterapi
a.      Sitotoksis / antibiotik
Mekanisme            :           dapat mengikat DNA secara kompleks, sehingga sintesisnya terhenti.(Tjay, 2007)
v  Drug of choice : doksorubisin
KI : hipersensitif, kehamilan dan menyusui
ES : kardiotoksis, mielotoksis, rontok rambut dan mual muntah
v  Drug of choice : daunorubisin
KI : penyakit jantung
ES : sama dengan doksorubisin
b.      Antimetabolit
v Drug of choice : cytarabin
Mekanisme : kerjanya mengganggu sintesis pirimidin dan digunakan terutama untuk menimbulkan remisi leukimia mioblastik akut. (IONI, 2000)
KI : hipersensitif
ES : toksisitas hematologi, leukopenia, mual, muntah, anoreksidan inflamasi mulut serta anus
v Drug of choice : metotreksat
Mekanisme : menghambat reduksi asam folat menjadi THFA dengna jalan pengikatan enzim reduktase.
KI : kehamilan, psoriasis, leukopenia dan anemia
ES : mual dan muntah
Terapi suportif
  1. Pemberian Nutrisi
ü  Infus Parenteral
Mekanisme aksi : memperbaiki kondisi tubuh dengan menyediakan kebutuhan  nutrisi yang hilang akibat dari kemoterapi
Efek samping : hiperglikemia, glukosuria, sindrom hiperosmolar
KI : -
  1. Manajemen nyeri
ü Morfin
.
Mekanisme aksi           : Morfin berinteraksi dengan reseptor opiate sterospesifik pada CNS dan jaringan lain. Efek analgetik yang ditimbulkan terutama bekerja di reseptor µ.
Efek Samping             : konstipasi, retensi urin, mual,muntah, retensi urine, halusinasi, prurutis, euphoria.
Kontraindikasi                        : depresi pernafasan, sensitive terhadap morfin.
ü Methadone
Mekanisme aksi           : berikatan dengan reseptor opiate di CNS, menyebabkan penghambatan jalur nyeri, merubah persepsi dan respon nyeri dan menyamarkan depresi CNS
Efek Samping             : konstipasi, retensi urin, mual,muntah, retensi urine, halusinasi, prurutis, euphoria.
Kontraindikasi                        : depresi pernafasan, sensitive terhadap morfin.
  1. Pemberian anti mual-muntah (antiemetik)
ü SSRI (dolansetron, ondansetron, granisetron)
Mekanisme aksi           : antagonis selektif reseptor serotonin (5HT3). Memblokir serotonin di perifer dan  sentral  (chemotherapy trigger zone)
Efek samping              : pusing, diare
Kontraindikasi                        : hipersensitivitas
ü  Dexametason
Mekanisme aksi           : meningkatkan efek antiemetik SSRI. Mekanisme sesungguhnya masih belum dapat dipastikan
Efek samping              : aritmia, malaise, insomnia
Kontraindikasi                        :  hipersensitivitas

EVALUASI OBAT TERPILIH
Kemoterapi à post remission à siklus 1
Diket à TB = 168 cm, BB = 55,5 kg
               BSA =
                    = 1,61 m2

Daunorubicin HCl DBL®          Tempo Scan Pacific/DBL
Komposisi             : Daunorubicin HCl
Indikasi                 : Treatment untuk leukemia ALL dan NALL
Efek Samping       : Mual, muntah, imunosupresif, depresi sum-sum tulang.
Interaksi Obat       : -
Frekuensi               : 1 x sehari
Durasi                    : 2 hari
Dosis                     :  60 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2
                                 = 60 mg x 1,61 m2
                                 = 96,6 mg
Analisis Biaya       : sediaan = 20 mg x 1 (Rp 203.000)
                                1 hari à butuh 5 vial ~ 100 mg
                                2 hari à butuh 10 vial = 10 x Rp 203.000 = Rp 2.030.000
Alasan Pemilihan  : Daunorubicin dan cytarabin merupakan 1st line therapy untuk leukemia yang baru dideteksi.

Cytosar-U®                     Pfizer
Komposisi             : Cytarabine
Indikasi                 : Induksi dan pemeliharaan untuk leukemia non limfositik akut, leukemia limfositis akut, leukemia mielositik kronik yang mengalami remisi, profilaksis untuk pengobatan leukemia meningeal.
Efek Samping       : Anoreksia, gangguan GI, inflamasi dan ulserasi pada mulut,gangguan fungsi hati, demam, supresi sum-sum tulang
Interaksi Obat       : -
Frekuensi               : 1 x sehari
Durasi                    : 5 hari
Dosis                     : 200 mg/m2 IV pada hari 1 s.d. 5
                               =200 x 1,61 m2
                               = 322 mg
Analisis Biaya       : sediaan = 100 mg x 1 (Rp 84.000)
                                1 hari à butuh 3,5 vial ~ 400 mg
                                5 hari à butuh 17,5 vial ~ 18 vial  = 18 x Rp 84.000 = Rp 1.512.000
Alasan Pemilihan  : Daunorubicin dan cytarabin merupakan 1st line therapy untuk leukemia yang baru dideteksi.

Terapi suportif
a. Pemberian Nutrisi
CLINIMIX® (asam amino, gukosa, elektrolit)
Alasan : selama siklus terapi, pasien mengalami kehilangan nutrisi dan kesulitan untuk mengkonsumsi makanan, maka dibutuhkan asupan nutrisi tambahan
Dosis : 0.35 g nitrogen/kgBB/hari =  19,25g/hari
Durasi : 20 jam/ hari
Frekuensi : 1 x sehari
IO : -
Biaya : Rp 250.000 / 1 L

b.Manajemen nyeri
ü  Morfin ( MST Continus)
Alasan :Merupakan first line pada terapi paliatif. Karena pasien sudah berada dalam level intensely severe pain ( dilihat dari skala Mc Caffery M Pasero C), maka terapi yang dilakukan dengan pengobatan paliatif sudah pada step 3 yakni menggunakan opioid kuat yakni morfin.
Dosis: 10 mg
Frekuensi: 2 x sehari 1 tab
Durasi: 1 bulan
IO: -
Biaya: 1 tab Rp 3.639,00. 1 bulan= Rp 218.350,00
c.Pemberian anti mual-muntah (antiemetik)
ü  Ondansetron (DANTROXAL®)
                Alasan : membutuhkan dosis yang lebih kecil dalam menghasilkan efek yang sama
               dibanding dengan Dolansetron, serta terdapat di Indonesia.         
               Dosis : 0,15mg/kg IV = 8,25 mg/IV
               Durasi:
               Frekuensi: 1 x sehari
    IO: -           
               Biaya:  8,25 mg x 7 = 57,75 mg = 7 ampul (8mg) + 1 ampul (4 mg) = (7 x 125.000) + (1x 77.000) =  Rp 952.000 
ü Deksametason (Dexa-M®)
        Dosis            : 12 mg IV
        Frekuensi      : 1x sehari
        Durasi          :  
        IO: -
        Analisis biaya: 1 ampul 4mg/ml = Rp 2.500,-
Alasan Pemilihan  :
- Cytarabin menginduksi mual muntah dengan level emetogenesis 2 (ringan), sedangkan daunorubicin level emetogenesis kuat. Sehingga dibutuhkan kombinasi antiemetik yang merupakan kombinasi SSRI dengan kortikosteroid (emetogenicity moderate—high)
- Ondansetron,dolasetron,granisetron à efikasi dan keamanannya >>> metoklopramid.
- Kortikosteroid dikombinasikan dengan SSRI karena dengan penambahan kortikosteroid akan meningkatkan efek antiemetik.
- Biasanya kombinasi yg diberikan Ondansetron—dexametasone.
(Dipiro, 2005)

PEMBAHASAN
Kanker merupakan kelompok penyakit yang dikarakterisasi oleh pertumbuhan sel yang tidk terkontrol, disertai dengan invasi pada jaringan lokal atau penyebaran sistemik, atau keduanya. Pada kasus kali ini, pasien didiagnosis menderita kanker leukimia mieloid akut. Leukimia merupakan suatu bentuk keganasan hematologi heterogen yang ditandai dengan proliferasi sel darah yang tidak terkendali yang terbentuk di tulang sumsum. Perkembangan sel-sel leukimia yang belum matang ini akan menghambat maturasi sel-sel normal dalam tulang sumsum, sehingga menyebabkan timbulnya anemia, neutropenia, dan trombositopenia. Sel-sel leukimia ini juga dapat menginfiltrasi berbagai macam jaringan, seperti kelenjar getah bening, kulit, hati, limpa, ginjal, testis, dan sistem saraf pusat. Disebut leukimia akut jika sel-sel yang berproliferasi adalah sel immatur yang belum terdiferensiasi. Jika tidak segera ditangani, leukimia akut dapat berkembang secara cepat dan progresif, dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu 2 sampai 3 bulan. (Leather and Poon, 2005)
Tipe sel predominan yang terlibat pada leukemia adalah limfoid dan myeloid. Kemudian, penyakit diklasifikasikan dengan jenis sel yang ditemukan pada sediaan darah tepi. Ketika leukemia mempengaruhi limfosit atau sel limfoid, maka disebut leukemia limfositik. Ketika leukemia mempengaruhi sel mieloid seperti neutrofil, basofil, dan eosinofil, maka disebut leukemia mielositik.
Manajemen kanker dapat dibedakan menjadi 4, yaitu preventif, deteksi dini, terapi yang efektif, serta terapi suportif. Untuk kasus kali ini, preventif dan deteksi dini sudah tidak mungkin dilakukan karena diagnosis sudah ditegakkan. Jadi, manajemen yang masih dapat diaplikasikan adalah terapi yang efektif dan terapi suportif.
Sedangkan tujuan terapi kanker sendiri adalah kuratif, yaitu menyembuhkan kanker dan paliatif, yaitu menghilangkan gejala untuk memperbaiki kualitas hidup dan atau memperpanjang kemampuan hidup. Jenis terapi yang digunakan dalam kasus kali ini adalah kemoterapi dan terapi simtomatik.
Tujuan jangka pendek dari pengobatan untuk AML adalah untuk mencapai remisi lengkap dengan cepat secara klinis dan hematologi. Dengan tidak adanya remisi lengkap, maka hasil yang fatal dan cepat tidak dapat dielakkan. Remisi lengkap sendiri didefinisikan sebagai hilangnya semua bukti klinis pada sumsum tulang (sel normal> 20% dan pertmbuhan < 5%) dengan pemulihan hematopoiesis yang normal (neutrofil  1.000 sel/mm3 dan trombosit > 100.000 sel/mm3). (Leather and Poon, 2005)
Pengobatan pada leukemia akut terdiri dari 3 fase, yaitu:
·         Fase 1:Terapi induksi remisi (bertujuan untuk mempercepat induksi remisi klinik dan hematologi lengkap)
·         Fase 2:Terapi konsolidasi
·         Fase 3:
ü  Pada ALL       : terapi pemeliharaan
ü  Pada AML      : terdapat 2 pilihan, yaitu transplantasi hematopoietic stem cell atau pemberhentian terapi).

Terapi induksi pada AML menggunakan obat yang toksik untuk sel sumsum yang normal. Oleh karena itu pasien memerlukan pelayanan suportif yang intensif selama periode toksik kemoterapi induksi sebelum remisi diperoleh. Antara lain transfusi trombosit untuk mencegah pendarahan. G-CSF untuk memperpendek periode neutropenia dan antibiotic bakterisid dan tranfusi granulosit untuk melawan infeksi. Rancangan pengobatan AML sebagai berikut:

Setelah dilakukan terapi induksi remisi, jika terjadi remisi, pasien melakukan terapi berikutnya, akan tetapi apabila terjadi kekambuhan pada saat pasien dalam keadaan remisi, obat yang sama dapat digunakan untuk melakukan terapi induksi ulang. Jika terjadi resistensi, maka dilakukan terapi ulang induksi dengan menggunakan obat lain dalam berbagai kombinasi.
Pada kasus ini pasien sudah terdiagnosa AML dan telah menjalani terapi kemoterapi induksi dengan cytarabine dan daunorubicin. Pasien megalami efek samping kemoterapi ‘tertunda/delayed (seminggu setelah kemoterapi)’. Terapi induksi menggunakan obat yang toksik untuk sel sumsum yang normal. Oleh karena itu pasien memerlukan pelayanan suportif yang intensif selama periode toksik kemoterapi induksi sebelum remisi diperoleh.
Untuk mengatasi nyeri karena kanker, digunakan morfin. Morfin merupakan first line pada terapi paliatif. Karena pasien sudah berada dalam level intensely severe pain ( dilihat dari skala Mc Caffery M Pasero C), maka terapi yang dilakukan dengan pengobatan paliatif sudah pada step 3 yakni menggunakan opioid kuat yakni morfin. Morfin menjadi pilihan karena tersedia dalam berbagai sediaan, memiliki banyak rute pemberian seperti oral, rectal, IM, SC, IV, epidural, intratekal. Morfin memiliki efek adiksi yang lebih tinggi dari yang lainnya.
Cytarabin menginduksi mual muntah dengan level emetogenesis 2 (ringan), sedangkan daunorubicin level emetogenesis kuat. Sehingga dibutuhkan kombinasi antiemetik yang merupakan kombinasi SSRI dengan kortikosteroid (emetogenicity moderate—high). Ondansetron, dolasetron, dan granisetron efikasi dan keamanannya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan metoklopramid. Kortikosteroid biasanya dikombinasikan dengan SSRI karena dengan penambahan kortikosteroid akan meningkatkan efek antiemetik. Kombinasi yang biasa diberikan adalah Ondansetron—dexametasone. (Leather and Poon, 2005)
Selain itu, diperlukan juga penambahan nutrisi pada pasien, karena pasien mengalami kehilangan nutrisi dan kesulitan untuk mengkonsumsi makanan, diakibatkan oleh mual muntah karena kemoterapi yang diterima pasien. Nutrisi diberikan secara parenteral, yaitu Clinimix yang berisi glukosa, asam amino, dan elektrolit. Dengan diberikannya tambahan nutrisi, diharapkan kondisi pasien dapat segera membaik, sehingga kemoterapi dapat dilanjutkan ke fase berikutnya.
Jika kondisi pasien sudah membaik, maka terapi kanker dapat dilanjutkan dengan fase konsolidasi (fase 2). Terapi yang direkomendasikan untuk 1 siklus adalah Daunorubicin HCl selama 2 hari (1x sehari, dosis 96,6 mg) dan Cytarabine selama 5 hari (1x sehari, dosis 322 mg). obat-obat ini dipilih karena merupakan first line terapi pada AML. Lagipula, sebelumnya pasien pernah menjalani kemoterapi dengan obat-obat ini, sehingga diharapkan pasien sudah lebih dapat menoleransi efek samping yang diakibatkan oleh pemakaian obat-obat ini.

MONITORING DAN FOLLOW UP
  1. Pemeriksaan fisik setiap hari
  2. CBC dan kimia serum (asam urat, kalium, kalsium, posfat) secara intense setiap hari selama kemoterapi
  3. Biopsy dan aspirasi sumsum tulang belakang 7-10 hari setelah berakhirnya kemoterapi
  4. Monitoring demam pada penggunaan antibiotik pada celulitis
  5. Monitoring setiap hari bahwa infeksi celulitis sudah terkontrol, perlu dilakukan pemeriksaan ulang pada celulitis jika luka infeksi tidak membaik atau semakin terasa nyeri dan demam meningkat.
  6. Monitoring mual muntah setelah kemoterapi, jika masih terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam akan diberikan terapi akut mual muntah dan jika lebih dari 24 jam dengan penanganan delay mual muntah akibat kemoterapi
  7. jika kadar platelet kurang dari 5000-10.000/mm3 maka harus dilakukan transfusi platelet
  8. Jika kadar Hct kurang dari 25 % maka pasien harus diberi transfusi sel darah merah
  9. Dilakukan monitoring EKG karena kemoterapi yang digunakan mengakibatkan toksisitas kepada jantung

KOMUNIKASI, INFORMASI, DAN EDUKASI KEPADA PASIEN
  1. Bersihkan daerah luka infeksi celulitis dengan air hangat selama 15 menit
  2. Penyimpanan  obat dalam vial berupa larutan di refrigerator dan dihindarkan dari sinar matahari
  3. Allopurinol diambil sesudah makan
  4. Pasien disarankan untuk banyak mengkonsumsi makanan bergizi seperti buah-buahan dan sayur-sayuran
  5. Diperlukan dukungan dari keluarga untuk membantu kesembuhan pasien
  6. Komunikasikan bahwa penggunaan obat (daunorubisin) akan menyebabkan urin berwarna kemerahan yang menandakan obat sedang bekerja
  7. Rambut rontok akibat kemoterapi merupakan hal yang wajar dan bersifat reversible setelah kemoterapi berakhir.

KESIMPULAN
1.        Pasien menderita leukemia AML
2.        Regimen kemoterapi yang digunakan untuk fase konsolidasi adalah kombinasi Daunorubicin dan Cytarabin, dimana Daunorubicin digunakan selama 2 hari dan Cytarabin selama 5 hari.
3.        Terapi suportif yang diberikan adalah antiemesis untuk mengatasi emesis kuat yang terjadi akibat penggunaan obat-obat kemoterapi, disini digunakan kombinasi antiemesis Ondansetron dan Dexamethason.
4.        Untuk mengatasi nyeri kanker, digunakan analgetik step 3, yaitu morfin.
5.        Diberikan infus Clinimix untuk penambah nutrisi pasien
6.        Perlu dilakukan monitoring terhadap fungsi ginjal, hati dan jantung pasien, serta beberapa efek samping yang mungkin terjadi akibat obat-obat yang digunakam.
7.        Pengobatan leukemia cukup memakan waktu yang lama, maka perlu diberikan komunikasi kepada keluarga pasien untuk selalu memberikan dukungan pada pasien, karena hal tersebut sangat berpengaruh pada kebehasilan terapi.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam 1994. Surabaya : Tim Dokter RSUD dr.Sutomo
Anonim, 2009, Leukemia, http://leukemia-akut.html, 18 Desember 2010
Anonim, 2009, Leukemia, http://penyakit-leukemia-kanker-darah.html, 18 Desember 2010
Anonim, 1994, Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo, Surabaya
Leather, Helen L. and Betsy Bickert Poon, in Acute Leukimias, Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C. Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., (Eds), 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, seventh Edition, McGraw Hill, Medical Publishing Division, New York
Pick, Amy M., Marcel Devetten, and Timothy R. McGuire, in Chronic Leukimias, Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C. Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., (Eds), 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, seventh Edition, McGraw Hill, Medical Publishing Division, New York
Robbins dan Kumar, 1995, Buku Ajar Patologi I, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Simon, Sumanto, dr. Sp.PK, 2003, Neoplasma Sistem Hematopoietik: Leukemia, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jakarta
Underwood, J. C. E.,1999, Patologi Umum dan Sistemik.VOL.1. Ed. 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Widmann.F.K, 1992, Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta







Tidak ada komentar:

Posting Komentar