Minggu, 24 Juni 2012

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1   Latar belakang
Penyakit Jantung Koroner (PJK) ialah penyakit jantung yang terutama disebabkan karena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. PJK merupakan sosok penyakit yang sangat menakutkan dan masih menjadi masalah baik di negara maju maupun negara berkembang. Di USA setiap tahunnya 550.000 orang meninggal karena penyakit ini. Di Eropa diperhitungkan 20-40.000 orang dari 1 juta penduduk menderita PJK. Hasil survei yang dilakukan Departemen Kesehatan RI menyatakan prevalensi PJK di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan, sekarang (tahun 2000-an) dapat dipastikan, kecenderungan penyebab kematian di Indonesia bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit kardiovaskular (antara lain PJK) dan degeneratif.
Tulisan ini hanya dibatasi pada pemahaman tentang status lipid dan keterkaitannya dengan PJK sebagai faktor risiko tradisional. Disadari bahwa perkembangan mutakhir dalam bidang penyakit jantung menemukan berbagai fakta-fakta baru tentang PJK. Namun, pengendalian faktor-faktor risiko tradisional, terutama dislipidemia, obesitas, merokok, dan hipertensi masih cukup relevan dalam upaya menurunkan morbiditas dan mortalias PJK dan bencana kardiovaskular lain.
Berbagai studi epidemiologik menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar lipid dalam darah maka semakin besar risiko terjadinya PJK. Oleh karena itu kontrol lipid darah, dan pengendalian kadar lipid darah hingga batas normal akan menekan risiko terjadinya penyakit jantung koroner.

1.2   Rumusan masalah
1.    Bagaimana konsep management lipid pada PJK?
2.    Bagaimana konsep proses keperawatan management lipid pada PJK?

1.3   Tujuan instruksional umum
Menjelaskan konsep dan proses keperawatan management lipid pada PJK.

1.4   Tujuan instruksional khusus
1.    Mengetahui definisi PJK dan lipid
2.    Mengetahui kelainan-kelainan pada lipid
3.    Mengetahui etiologi PJK
4.    Mengetahui patofisiologi lipid pada PJK
5.    Mengetahui manifestasi klinis PJK
6.    Mengetahui pemeriksaan diagnostik PJK
7.    Mengetahui komplikasi lipid pada PJK
8.    Mengetahui penatalaksanaan lipid pada PJK
9.    Mengetahui prognosis PJK
10. Mengetahui asuhan keperawatan pada PJK

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

4.1   Definisi dan klasifikasi lipid
Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah keadaaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan otot jantung atas oksigen dengan penyediaan yang di berikan oleh pembuluh darah coroner (Mila, 2010).
Lemak, disebut juga lipid, adalah suatu zat yang kaya akan energi, berfungsi sebagai sumber energi yang utama untuk proses metabolisme tubuh. Lemak yang beredar di dalam tubuh diperoleh dari dua sumber yaitu dari makanan dan hasil produksi organ hati, yang bisa disimpan di dalam sel-sel lemak sebagai cadangan energi.
Fungsi lemak adalah sebagai sumber energi, pelindung organ tubuh, pembentukan sel, sumber asam lemak esensial, alat angkut vitamin larut lemak, menghemat protein, memberi rasa kenyang dan kelezatan, sebagai pelumas, dan memelihara suhu tubuh. (Danny, 2009)
Secara ilmu gizi, lemak dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.    Lipid sederhana :
1.    Lemak netral (monogliserida, digliserida, trigliserida),
2.    Ester asam lemak dengan alkohol berberat molekul tinggi
3.    Lipid majemuk :
1.    Fosfolipid
2.    Lipoprotein
3.    Lipid turunan :
1.    Asam lemak
2.    Sterol (kolesterol, ergosterol,dsb)

Secara klinis, lemak yang penting adalah :
1.    Kolesterol
Kolesterol merupakan bahan perantara untuk pembentukan sejumlah komponen penting seperti vitamin D (untuk membentuk & mempertahankan tulang yang sehat), hormon seks (contohnya Estrogen & Testosteron) dan asam empedu (untuk fungsi pencernaan ).
1.    Trigliserida (lemak netral)
Sebagian besar lemak dan minyak di alam terdiri atas 98-99% trigliserida. Trigliserida adalah suatu ester gliserol. Trigliserida terbentuk dari 3 asam lemak dan gliserol. Apabila terdapat satu asam lemak dalam ikatan dengan gliserol maka dinamakan monogliserida. Fungsi utama Trigliserida adalah sebagai zat energi. Lemak disimpan di dalam tubuh dalam bentuk trigliserida. Apabila sel membutuhkan energi, enzim lipase dalam sel lemak akan memecah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak serta melepasnya ke dalam pembuluh darah. Oleh sel-sel yang membutuhkan komponen-komponen tersebut kemudian dibakar dan menghasilkan energi, karbondioksida (CO2), dan air (H2O). Trigliserida bersirkulasi dalam darah bersama-sama dengan VLDL (Very Low Densitiy Lipoprotein) yang bersifat aterogenik. Trigliserida serum juga berhubungan positif dengan risiko PJK.
1.    Fosfolipid
Fungsi dari fosfolipid antara lain sebagai bahan penyusun membran sel. Beberapa fungsi biologik lainnya antara lain adalah sebagai surfactant paru-paru yg mencegah perlekatan dinding alveoli paru-paru sewaktu ekspirasi.
1.    Asam Lemak
Asam lemak memiliki empat peranan utama. Pertama, asam lemak merupakan unit penyusun fosfolipid dan glikolipid. Kedua, banyak protein dimodifikasi oleh ikatan kovalen asam lemak, yang menempatkan protein-protein tersebut ke lokasi-lokasinya pada membran. Ketiga, asam lemak merupakan molekul bahan bakar. Asam lemak disimpan dalam bentuk triasilgliserol, yang merupakan ester gliserol yang tidak bermuatan. Triasilgliserol disebut juga lemak netral atau trigliserida. Keempat, derivat asam lemak berperan sebagai hormon dan cakra intrasel.

Lipid Plasma
Pada umumnya lemak tidak larut dalam air, yang berarti juga tidak larut dalam plasma darah. Agar lemak dapat diangkut ke dalam peredaran darah, maka lemak tersebut harus dibuat larut dengan cara mengikatkannya pada protein yang larut dalam air. Ikatan antara lemak (kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid) dengan protein ini disebut Lipoprotein (dari kata Lipo=lemak, dan protein).
Lipoprotein bertugas mengangkut lemak dari tempat pembentukannya menuju tempat penggunaannya.
Ada beberapa jenis lipoprotein, antara lain:
1.    Kilomikron
Merupakan lipoprotein densitas rendah paling banyak berisi trigliserid yang berasal dari makanan. Kilomikron berfungsi sebagai alat transportasi trigliserid dari usus ke jaringan lain, kecuali ginjal.
1.    VLDL (Very Low Density Lipoprotein)
Merupakan zat yang berfungsi untuk membawa kolesterol yang telah dikeluarkan oleh hati ke jaringan otot untuk disimpan sebagai cadangan energi.
1.    IDL (Intermediate Density Lipoprotein)
2.    LDL (Low Density Lipoprotein)
Low Density Lipoprotein (LDL) adalah lipoprotein utama pengangkut kolesterol dalam darah yang terlibat dalam proses terjadinya PJK. Semakin tinggi kadar kolesterol-LDL dalam darah menjadi petanda semakin tingginya risiko PJK, karena itu kolesterol-LDL biasa juga disebut 'kolesterol jahat'.
1.    HDL (High Density Lipoprotein)
High Density Lipoprotein (HDL) merupakan lipoprotein yang bersifat menurunkan faktor risiko pembentukan aterosklerosis. Kolesterol-HDL beredar dalam darah dan kembali ke hepar mengalami katabolisme membentuk empedu serta dieliminasi melalui usus besar. Sehingga semakin tinggi kadar HDL, semakin banyak kolesterol yang dieliminasi.Berdasarkan Framinghan Heart Study penurunan HDL sebesar 1 % berarti peningkatan risiko PJK sebesar 3 - 4 %. Dengan demikian HDL sering disebut kolesterol yang baik, makin tinggi kadar HDL makin baik untuk pasien tersebut.

Jalur pengangkutan lemak dalam darah :
Lemak dalam darah diangkut dengan dua cara, yaitu melalui jalur eksogen dan jalur endogen
1.    Jalur eksogen
Trigliserida & kolesterol yang berasal dari makanan dalam usus dikemas dalam bentuk partikel besar lipoprotein, yang disebut Kilomikron. Kilomikron ini akan membawanya ke dalam aliran darah. Kemudian trigliserid dalam kilomikron tadi mengalami penguraian oleh enzim lipoprotein lipase, sehingga terbentuk asam lemak bebas dan kilomikron remnan. Asam lemak bebas akan menembus jaringan lemak atau sel otot untuk diubah menjadi trigliserida kembali sebagai cadangan energi. Sedangkan kilomikron remnan akan dimetabolisme dalam hati sehingga menghasilkan kolesterol bebas.
Sebagian kolesterol yang mencapai organ hati diubah menjadi asam empedu, yang akan dikeluarkan ke dalam usus, berfungsi seperti detergen & membantu proses penyerapan lemak dari makanan. Sebagian lagi dari kolesterol dikeluarkan melalui saluran empedu tanpa dimetabolisme menjadi asam empedu kemudian organ hati akan mendistribusikan kolesterol ke jaringan tubuh lainnya melalui jalur endogen. Pada akhirnya, kilomikron yang tersisa (yang lemaknya telah diambil), dibuang dari aliran darah oleh hati.
Kolesterol juga dapat diproduksi oleh hati dengan bantuan enzim yang disebut HMG Koenzim-A Reduktase, kemudian dikirimkan ke dalam aliran darah.

1.    Jalur endogen
Pembentukan trigliserida dalam hati akan meningkat apabila makanan sehari-hari mengandung karbohidrat yang berlebihan.
Hati mengubah karbohidrat menjadi asam lemak, kemudian membentuk trigliserida, trigliserida ini dibawa melalui aliran darah dalam bentuk Very Low Density Lipoprotein (VLDL). VLDL kemudian akan dimetabolisme oleh enzim lipoprotein lipase menjadi IDL (Intermediate Density Lipoprotein). Kemudian IDL melalui serangkaian proses akan berubah menjadi LDL (Low Density Lipoprotein) yang kaya akan kolesterol. Kira-kira ¾ dari kolesterol total dalam plasma normal manusia mengandung partikel LDL. LDL ini bertugas menghantarkan kolesterol ke dalam tubuh.
Kolesterol yang tidak diperlukan akan dilepaskan ke dalam darah, dimana pertama-tama akan berikatan dengan HDL (High Density Lipoprotein). HDL bertugas membuang kelebihan kolesterol dari dalam tubuh.
Itulah sebab munculnya istilah LDL-Kolesterol disebut lemak “jahat” dan HDL-Kolesterol disebut lemak “baik”. Sehingga rasio keduanya harus seimbang.

Gambar 1. Transport Lemak
Kilomikron membawa lemak dari usus (berasal dari makanan) dan mengirim trigliserid ke sel-sel tubuh. VLDL membawa lemak dari hati dan mengirim trigliserid ke sel-sel tubuh. LDL yang berasal dari pemecahan IDL (sebelumnya berbentuk VLDL) merupakan pengirim kolesterol yang utama ke sel-sel tubuh. HDL membawa kelebihan kolesterol dari dalam sel untuk dibuang. (Sumber: Nutrition: Science and Applications, 2nd edition, edited by L. A. Smaolin & M. B. Grosvenor. Saunders College Publishing, 1997.)

Penyakit Arteri Koroner / penyakit jantung koroner (Coronary Artery Disease) ditandai dengan adanya endapan lemak yang berkumpul di dalam sel yang melapisi dinding suatu arteri koroner dan menyumbat aliran darah.
Endapan lemak (ateroma atau plak) terbentuk secara bertahap dan tersebar di percabangan besar dari kedua arteri koroner utama, yang mengelilingi jantung dan menyediakan darah bagi jantung.
Proses pembentukan ateroma ini disebut aterosklerosis.

Ateroma bisa menonjol ke dalam arteri dan menyebabkan arteri menjadi sempit. Jika ateroma terus membesar, bagian dari ateroma bisa pecah dan masuk ke dalam aliran darah atau bisa terbentuk bekuan darah di permukaan ateroma tersebut.
Supaya bisa berkontraksi dan memompa secara normal, otot jantung (miokardium) memerlukan pasokan darah yang kaya akan oksigen dari arteri koroner. Jika penyumbatan arteri koroner semakin memburuk, bisa terjadi iskemi (berkurangnya pasokan darah) pada otot jantung, menyebabkan kerusakan jantung.

4.2  Kelainan Lipid
Dilakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar kolesterol total. Untuk mengukur kadar kolesterol LDL, HDL dan trigliserida, sebaiknya penderita berpuasa dulu minimal selama 12 jam.
Kadar Lemak Darah :
Pemeriksaan Laboratorium    Kisaran yang Ideal (mg/dL darah)
Kolesterol total    120-200
Kilomikron    negatif (setelah berpuasa selama 12 jam)
VLDL    1-30
LDL    60-160
HDL    35-65
Perbandingan LDL dengan HDL    < 3,5
Trigliserida    10-160

Berbagai pedoman telah dibuat untuk menilai hasil tes lipid darah. Oleh The National Cholesterol Education Program, Adult Treatment Panel III 2001 menetapkan klasifikasi kolesterol dan trigliserida, yang merupakan pedoman untuk interpretasi klinik hasil tes lipid darah sebagai berikut :
1.    Total Kolesterol
1.    Kurang dari 200 mg/dl, dikategorikan level kolesterol yang diinginkan.
2.    Antara 200 - 239 mg/dl, dikategorikan garis batas level kolesterol tinggi
3.    Lebih besar atau sama dengan 240 mg/dl, diketegorikan level kolesterol tinggi.
4.    Kolesterol-LDL
1.    Kurang dari 100 mg/dl, dikategorikan level Kolesterol-LDL optimal
2.    Antara 100 - 129 mg/dl, dikategorikan level Kolesterol LDL mendekati optimal
3.    Antara 130 - 159 mg/dl, dikategorikan garis batas level kolesterol-LDL tinggi
4.    Antara 160 - 189 mg/dl, dikategorikan level kolesterol-LDL tinggi
5.    Lebih besar atau sama dengan 190 mg/dl, dikategorikan level kolesterol sangat tinggi.
6.    Kolesterol-HDL
1.    Kurang dari 40 mg/dl, dikategorikan level kolesterol HDL rendah
2.    Lebih besar atau sama dengan 60 mg/dl, dikategorikan level kolesterol tinggi.
3.    Trigliserida
1.    Kurang dari 150 mg/dl, dikategorikan level trigliserida normal
2.    Antara 150 - 199 mg/dl, dikategorikan level trigliserida garis batas level trigliserida tinggi
3.    Antara 200 - 499 mg/dl, dikategorikan level trigliserida tinggi
4.    Lebih besar atau sama dengan 500 mg/dl, diketegorikan level trigliserida sangat tinggi.

Hiperlipidemia
Yang dimakud dengan Hiperlipidemia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh peningkatan kadar lipid/lemak darah.
Berdasarkan jenisnya, hiperlipidemia dibagi menjadi 2, yaitu:
1.    Hiperlipidemia Primer
Banyak disebabkan oleh karena kelainan genetik. Biasanya kelainan ini ditemukan pada waktu pemeriksaan laboratorium secara kebetulan. Pada umumnya tidak ada keluhan, kecuali pada keadaan yang agak berat tampak adanya xantoma (penumpukan lemak di bawah jaringan kulit).
Berdasarkan fenotip lipoproteinnya hiperlipidemia primer dibedakan berdasarkan 6 tipe (Fredrickson, 1967)
Klasifikasi hiperlipoproteinememia menurut Fredickson :
     Sinonim    Fraksi lipoprotein utama yang meningkat    Lipid utama yang meningkat
I
IIA
IIB

III
IV

V
     Hiperkilomkronemia
Hiperbetalipoprotenemia
Hiper-β & pra-β-LPP lipoproteinemia

Hiper broad band LPPemia
Hoperpralipoprooteinemia

Hoperkilomikron dan Hiperprabetalipoproteinemia    Kilomikron
LDL
LDL dan VLDL

IDL
VLDL

VLDL dan kilomikron    Trigliserid
Kolesterol
Kolesterol dan trigliserid
Trigliserid dan Kolesterol
Trigliserid
Trigliserid dan kilomikron

1.    Hiperlipidemia Sekunder
Pada jenis ini, peningkatan kadar lipid darah disebabkan oleh suatu penyakit tertentu, misalnya : diabetes melitus, gangguan tiroid, penyakit hepar & penyakit ginjal. Hiperlipidemia sekunder bersifat reversibel (berulang).
Ada juga obat-obatan yang menyebabkan gangguan metabolisme lemak, seperti:
1.    Beta-bloker : hiperlipoproteinememia tipe IIa dan IIb
2.    Diuretik : hiperlipoproteinememia tipe IIb dan IV
3.    Esterogen : hiperlipoproteinememia tipe IV
4.    Gestagen : hiperlipoproteinememia tipe IIb

Klasifikasi Klinis Hiperlipidemia
(dalam hubungannya dengan Penyakit Jantung Koroner)
1.    Hiperkolesterolemia yaitu : kadar kolesterol meningkat dalam darah .
2.    Hipertrigliseridemia yaitu : kadar trigliserida meningkat dalam darah.
3.    Hiperlipidemia campuran yaitu : kadar kolesterol dan trigliserida meningkat dalam darah.

4.3  Etiologi
Penyakit jantung coroner dapat disebabkan oleh beberapa hal :
1.    Penyempitan (stenosis) dan penciutan (spasme) arteri koronaria, tetapi penyempitan bertahap akan memungkinkan berkembangnya kolateral yang cukup sebagai pengganti.
2.    Aterosklerosis, menyebabkan sekitar 98% kasus PJK.
3.    Penyempitan arteri koronaria pada sifilis, aortitis takayasu, berbagai jenis arteritis yang mengenai arteri coronaria, dll.

Faktor Resiko
Faktor resiko ada yang dapat dimodifikasi ada yang tidak dapat dimodifikasi
1.    Faktor risiko yang dapat dimodifikasi :
1.    Merokok
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung pada dinding arteri, karbon monoksida menyebabkan hipoksia arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang menimbulkan reaksitrombosit, glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensitifitas dinding arteri.
1.    Hiperlipoproteinemia
DM, obesitas dan hiperlipoproteinemia behubungan dengan pengendapan lemak.
1.    Hiperkolesterolemia
Kolesterol, lemak dan substansi lainnya dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen dari pembuluh darah tersebut menyempit dan proses ini disebut aterosklerosis.
1.    Hipertensi
Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung, sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri (faktormiokard). Serta tekanan darah yang tinggi menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (factor koroner).
1.    Diabetes melitus
Intoleransi terhadap glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit pembuluh darah.
1.    Obesitas dan sindrom metabolik
Obesitas adalah kelebihan jumlah lemak tubuh > 19 % pada laki laki dan > 21 % pada perempuan. Obesitas juga dapat meningkatkan kadar kolesterol dan LDL kolesterol. Resiko PJK akan jelas meningkat bila BB mulai melebihi 20% dari BB ideal.
1.    Inaktifitas fisik
2.    Perubahan keadaan sosial dan stress
Penelitian Supargo dkk (1981-1985) di FKUI menunjukkan orang yang stress satu setengah kali lebih besar mendapatkan resiko PJK. Stress disamping dapat menaikkan tekanan darah juga dapat meningkatkan kadar kolesterol darah.
1.    Kelenjar tiroid yang kurang aktif.
Hipotiroid / hiposekresi terjadi bila kelenjar tiroid kurang mengeluarkan sekret pada waktu bayi, sehingga menyebabkan kretinisme atau terhambatnya pertumbuhan tubuh.
Pada orang dewasa mengakibatkan mixodema, proses metabolik mundur dan terdapat kecenderungan untuk bertambah berat dan gerakan lamban.
1.    Obat-obatan tertentu yang dapat mengganggu metabolisme lemak seperti estrogen, pil kb, kortikosteroid, diuretik tiazid (pada keadaan tertentu)
2.    Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi :
1.    Usia
Resiko PJK meningkat dengan bertambahnya usia; penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Tetapi hubungan antara usia dan timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor pemicu.
1.    Jenis kelamin laki-laki
Wanita agaknya relative kebal terhadap penyakit ini sampai menopause, kemudian menjadi sama rentannya seperti pria; diduga karena adanya efek perlindungan esterogen.
1.    Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap PJK (saudara atau orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan timbulnya aterosklerosis prematur. Pentingnya pengaruh genetic dan lingkungan masih belum diketahui. Tetapi, riwayat keluarga dapat juga mencerminkan komponen lingkungan yang kuat, seperti misalnya gaya hidup yang menimbulkan stress atau obesitas.
1.    Etnis
Orang Amerika-Afrika lebih rentan terhadap PJK daripada orang kulit putih.

4.4   Patofisiologi
Bila terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung kolesterol, maka kadar kolesterol dalam darah bisa berlebih (disebut hiperkolesterolemia). Kelebihan kadar kolesterol dalam darah akan disimpan di dalam lapisan dinding pembuluh darah arteri, yang disebut sebagai plak atau ateroma (sumber utama plak berasal dari LDL-Kolesterol. Sedangkan HDL membawa kembali kelebihan kolesterol ke dalam hati, sehingga mengurangi penumpukan kolesterol di dalam dinding pembuluh darah). Ateroma berisi bahan lembut seperti keju, mengandung sejumlah bahan lemak, terutama kolesterol, sel-sel otot polos dan sel-sel jaringan ikat.
Apabila makin lama plak yang terbentuk makin banyak, akan terjadi suatu penebalan pada dinding pembuluh darah arteri, sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah arteri. Kejadian ini disebut sebagai aterosklerosis (terdapatnya aterom pada dinding arteri, berisi kolesterol dan zat lemak lainnya). Hal ini menyebabkan terjadinya arteriosklerosis (penebalan pada dinding arteri & hilangnya kelenturan dinding arteri). Bila ateroma yang terbentuk semakin tebal, dapat merobek lapisan dinding arteri dan terjadi bekuan darah (trombus) yang dapat menyumbat aliran darah dalam arteri tersebut.




Hal ini yang dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah serta suplai zat-zat penting seperti oksigen ke daerah atau organ tertentu seperti jantung. Bila mengenai arteri koronaria yang berfungsi mensuplai darah ke otot jantung (istilah medisnya miokardium), maka suplai darah jadi berkurang dan menyebabkan kematian di daerah tersebut (disebut sebagai infark miokard).
Konsekuensinya adalah terjadinya serangan jantung dan menyebabkan timbulnya gejala berupa nyeri dada yang hebat (dikenal sebagai angina pectoris). Keadaan ini yang disebut sebagai Penyakit Jantung Koroner (PJK).


4.5   Manifestasi klinis
GejalaPJK :
1.    Beberapa hari atau minggu sebelumnya tubuh terasa tidak bertenaga, dada tidak enak, waktu olahraga atau bergerak jantung berdenyut keras, napas tersengal-sengal, kadang-kadang disertai mual, muntah dan tubuh mengeluarkan banyak keringat.
2.    Nyeri dada
Sakit dada kiri (angina) dan nyeri terasa berasal dari dalam. Nyeri dada yang dirasakan pasien juga bermacam-macam seperti ditusuk-tusuk, terbakar, tertimpa benda berat, disayat, panas. Nyeri dada dirasakan di dada kiri disertai penjalaran ke lengan kiri, nyeri di ulu hati, dada kanan, nyeri dada yang menembus hingga punggung, bahkan ke rahang dan leher.
1.    Jantung berdebar (denyut nadi cepat).
2.    Keringat dingin
3.    Tenaga dan pikiran menjadi lemah, ketakutan yang tidak ada alasannya, perasaan mau mati saja.
4.    Tekanan darah rendah atau stroke
5.    Dalam kondisi sakit :
Sakit nyeri terutama di dada sebelah kiri tulang bagian atas dan tengah sampai ke   telapak tangan. Terjadinya sewaktu dalam keadaan tenang
1.    Kadar trigliserida yang sangat tinggi (sampai 800 mg/dl atau lebih) bisa menyebabkan pembesaran hati dan limpa dan gejala-gejala dari pankreatitis (misalnya nyeri perut yang hebat).

TandaPJK :
1.    Biasanya kadar lemak yang tinggi tidak menimbulkan gejala. Kadang-kadang, jika kadarnya sangat tinggi, endapan lemak akan membentuk suatu penumpukan lemak yang disebut xantoma di dalam tendo (urat daging) dan di dalam kulit.
2.    Demam, suhu tubuh umumnya sekitar 38°C
3.    Mual-mual dan muntah, perut bagian atas kembung dan sakit
4.    Muka pucat pasi
5.    Kulit menjadi basah dan dingin badan bersimbah peluh
6.    Gerakan menjadi lamban (kurang semangat)
7.    Sesak nafas
8.    Cemas dan gelisah
9.    Pingsan

4.6   Pemeriksaan diagnostik
Tergantung kebutuhannya beragam jenis pemeriksaan dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis PJK dan menentukan derajatnya. Dari yang sederhana sampai yang invasive sifatnya.
1.    Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan aktifitas listrik jantung atau gambaran elektrokardiogram (EKG) adalah pemeriksaan penunjang untuk memberi petunjuk adanya PJK. Dengan pemeriksaan ini kita dapat mengetahui apakah sudah ada tanda-tandanya. Dapat berupa serangan jantung terdahulu, penyempitan atau serangan jantung yang baru terjadi, yang masing-masing memberikan gambaran yang berbeda.
1.    Foto Rontgen Dada
Dari foto rontgen, dokter dapat menilai ukuran jantung, ada-tidaknya pembesaran. Di samping itu dapat juga dilihat gambaran paru. Kelainan pada koroner tidak dapat dilihat dalam foto rontgen ini. Dari ukuran jantung dapat dinilai apakah seorang penderita sudah berada pada PJK lanjut. Mungkin saja PJK lama yang sudah berlanjut pada payah jantung. Gambarannya biasanya jantung terlihat membesar.
1.    Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan untuk mengetahui kadar trigliserida sebagai faktor resiko. Dari pemeriksaan darah juga diketahui ada-tidaknya serangan jantung akut dengan melihat kenaikan enzim jantung.
1.    Bila dari semua pemeriksaan diatas diagnosa PJK belum berhasil ditegakkan, biasanya dokter jantung/ kardiologis akan merekomendasikan untuk dilakukan treadmill.
Alat ini digunakan untuk pemeriksaan diagnostic PJK. Berupa ban berjalan serupa dengan alat olah raga umumnya, namun dihubungkan dengan monitor dan alat rekam EKG. Prinsipnya adalah merekam aktifitas fisik jantung saat latihan. Dapat terjadi berupa gambaran EKG saat aktifitas, yang memberi petunjuk adanya PJK. Hal ini disebabkan karena jantung mempunyai tenaga serap, sehingga pada keadaan sehingga pada keadaan tertentu dalam keadaan istirahat gambaran EKG tampak normal.
Dari hasil treadmill ini telah dapat diduga apakah seseorang menderita PJK. Memang tidak 100% karena pemeriksaan dengan treadmill ini sensitifitasnya hanya sekitar 84% pada pria sedangka untuk wanita hanya 72%. Berarti masih mungkin ramalan ini meleset sekitar 16%, artinya dari 100 orang pria penderita PJK yang terbukti benar hanya 84 orang. Biasanya perlu pemeriksaan lanjut dengan melakukan kateterisasi jantung.
1.    Kateterisasi Jantung
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan kateter semacam selang seukuran ujung lidi. Selang ini dimasukkan langsung ke pembuluh nadi (arteri). Bisa melalui pangkal paha, lipatan lengan atau melalui pembuluh darah di lengan bawah. Kateter didorong dengan tuntunan alat rontgen langsung ke muara pembuluh koroner. Setelah tepat di lubangnya, kemudian disuntikkan cairan kontras sehingga mengisi pembuluh koroner yang dimaksud. Setelah itu dapat dilihat adanya penyempitan atau malahan mungkin tidak ada penyumbatan. Penyempitan atau penyumbatan ini dapat saja mengenai beberapa tempat pada satu pembuluh koroner. Bisa juga sekaligus mengenai beberapa pembuluh koroner. Atas dasar hasil kateterisasi jantung ini akan dapat ditentukan penanganan lebih lanjut. Apakah apsien cukup hanya dengan obat saja, disamping mencegah atau mengendalikan bourgeois resiko. Atau mungkin memerlukan intervensi yang dikenal dengan balon. Banyak juga yang menyebut dengan istilah ditiup atau balonisasi. Saat ini disamping dibalon dapat pula dipasang stent, semacam penyangga seperti cincin atau gorng-gorong yang berguna untuk mencegah kembalinya penyempitan. Bila tidak mungkin dengan obat-obatan, dibalon dengan atau tanpa stent, upaya lain adalah dengan melakukan bedah pintas koroner. (Carko, 2009)

4.7   Penatalaksanaan
Biasanya pengobatan terbaik untuk orang-orang yang memiliki kadar kolesterol tinggi menurut UPT – Balai Informasi Tekhnologi LIPI adalah :
1.    Menurunkan berat badan jika mereka mengalami kelebihan berat badan.
Karena kolesterol dan lemak jenuh makanan telah terbukti menaikkan kolesterol-LDL, maka masukan zat gizi ini harus dikurangi. Kalori berlebihan menaikkan LDL dan trigliserida-VLDL, serta menurunkan HDL, yang membuat pengaturan berat badan menjadi penting.
1.    Berhenti merokok, sebab rokok dapat menurunkan kadar HDL.
2.    Mengurangi jumlah lemak dan kolesterol dalam makanannya. Diet rendah kolesterol dan rendah lemak jenuh akan mengurangi kadar LDL.
3.    Menambah porsi olah raga. Olah raga bisa membantu mengurangi kadar LDL-kolesterol dan menambah kadar HDL-kolesterol.
4.    Mengkonsumsi obat penurun kadar lemak (jika diperlukan).
5.    Wanita yang menggunakan kontrasepsi oral biasanya menderita peningkatan trigliserida yang bisa mempengaruhi HDL, yang tergantung atas komposisi estrogen-progesteron pil. Kontrasepsi oral dengan dominan progestin bisa menurunkan HDL.
6.    Saat ini penggunaan obat-obat antioksidan menjadi babak baru dalam upaya pengendalian faktor-faktor risiko PJK, dimana obat-obat tersebut relatif lebih murah. Santoso (1998) mengemukakan bahwa perubahan oksidatif LDL dapat dihambat dengan memberi antioksidan, misalnya vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, vitamin E dan beta-karoten), vitamin C dan probukal. Beberapa penelitian telah membuktikan manfaat vitamin E bila dipakai dengan tujuan pencegahan primer, yaitu menghambat terjadinya PJK pada pria, wanita, dan orang tua.

Obat-obatan kimia yang digunakan untuk menurunkan kadar lemak dalam darah:
Obat yang tersedia di pasaran mengurangi konsentrasi lipid plasma umumnya menurunkan kadar kolesterol atau trigliserid, tetapi tidak menurunkan keduanya sekaligus; obat ini mempengaruhi kadar kolesterol LDL atau VLDL dalam sirkulasi. Niasin (asam nikotinat) merupakan pengecualian dan obat ini dapat menurunkan kadar LDL dan sekaligus VLDL. Obat antihiperlipidemia dapat direkomendasikan untuk pengobatan pasien dengan kadar kolesterol LDL di atas 160 mg/dl (ekuivalen dengan 240 mg/dl total kolesterol). Tujuan penggunaan obat hipolidemik adalah untuk menurunkan kolesterol LDL di bawah 130 mg/dl. Pedoman untuk memulai terapi obat diberikan dalam Tabel 32-3, dan obat serta penggunaannya ditunjukkan dalam Tabel 32-4.
Sebelum memulai pengobatan lipidemia, satu hal yang harus ditentukan ialah bahwa peningkatan lipid plasma secara langsung disebabkan oleh masalah dalam metabolisme dan bukan akibat patologi lain, seperti diabetes melitus, hipotiroidisme, atau alkoholisme. Namun, harus dimulai dengan dosis efektif minimum untuk membatasi efek samping.
Di samping diet, obat-obat hipolipidemik perlu diberikan pada keadaan berikut:
1.    Pada hiperkolesterolemia familial dan hiperlipoproteinemia tipe III.
2.    Pada semua jenis hiperlipidemia bila pengibatan dengan diet tidak memberikan hasil.
Pengobatan tunggal selalu lebih baik, namun bila perlu penggunaan dua macam obat dapat dipertimbangkan bila dengan monoterapi tidak memberikan manfaat. Karena pengobatan hiperlipidemia merupakan pengobatan jangka panjang, diagnosis harus ditegakkan seteliti mungkin dengan mempertimbangkan rasio manfaat-resiko pengobatan.

1.    Penyerap asam empedu
Cara kerja :
Obat golongan resin ini bekerja dengan cara mengikat asam empedu di usus halus dan mengeluarkannya melalui tinja sehingga sirkulasi enterohepatik obat ini menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan fungsi reseptor LDL dan peningkatan bersihan LDL plasma. Obat golongan ini terutama berpengaruh pada kadar kolesterol LDL dan sedikit/tidak ada pengaruhnya pada kadar TG dan kolesterol HDL. Pemakaian obat ini pada pasien hipertrigliseridemia berat (>500 mg/dl) bahkan akan lebih meningkatkan pada TG.
Contoh : colestyramine, colestipol
Kolestiramin adalah suatu amonium kuarterner penukar resin yang dalam bentuk garam, menukar klorida untuk anion lain. 1 gram kolestiramin dapat mengikat sekitar 100 mg garam empedu. Penggunaan kolestiramin jangka panjang telah terbukti dapat menurunkan serangan jantung fatal sekitar 20%.
Efek samping :
Gangguan pencernaan (mual, muntah, sembelit), urtikaria, dermatitis, nyeri otot dan sendi, arthritis, sakit kepala, pusing, gelisah, vertigo, mengantuk, penurunan nafsu makan, lemas, nafas pendek.

1.    Penghambat sintesa lipoprotein
Cara kerja : Menurunkan produksi VLDL yang merupakan prekursor LDL
Contoh : niasin
Asam nikotinat (nicotinic acid) atau Niasin / vitamin B3 yang larut air. Dengan dosis besar asam nikotinat diindikasikan untuk meningkatkan HDL atau koleserol baik dalam darah untuk mencegah serangan jantung.
Efek samping :
Gatal dan kemerahan pada kulit terutama daerah wajah dan tengkuk, gangguan fungsi hati, gangguan saluran pencernaan (muntah, diare, tukak lambung), pandangan kabur, hiperusisemia, hiperglikemia.

1.    Penghambat HMG Koenzim-A reduktase (golongan statin)
Cara kerja :
1.    Menghambat pembentukan kolesterol di hati
2.    Meningkatkan pembuangan LDL dari aliran darah
Contoh :  fluvastatin, lovastatin, pravastatin, simvastatin
Lovastatin adalah suatu inhibitor kompetitif enzim HMG KoA reduktase yang merupakan suatu enzim yang mengontrol kecepatan biosintesis kolesterol. Golongan obat ini lebih sering disebut sebagai statin atau vastatin.
Lovastatin dimanfaatkan untuk pengobatan hiperklolesterolemia yang disebabkan oleh peningkatan LDL.
Efek samping :
Gangguan saluran pencernaan, sakit kepala, ‘rash’ (kemerahan), nyeri otot.

1.    Derivat asam fibrat
Cara kerja :
Golongan asam fibrat diindikasikan untuk hiperlipoproteinemia tipe IIa, Iib, III, IV dan V. Gemfibrozil sangat efektif dalam menurunkan trigliserid plasma, sehingga produksi VLDL dan apoprotein B dalam hati menurun . Gemfibrozil meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase sehingga bersihan partikel kaya trigliserid meningkat. Kadar kolesterol HDL juga meningkat pada pemberian Gemfibrozil. Fibrate menurunkan produksi LDl dan meningkatkan kadar HDL. LDL ditumpuk di arteri sehingga meningkatkan resiko penyakit jantung, sedangkan HDL memproteksi arteri atas penumpukkan itu. Penghambatan saluran darah mengurangi jumlah darah sehingga oksigen yang dibawa ke otot jantung juga berkurang. Pada keadaan yang parah dapat menimbulkan serangan jantung.
Contoh : klofibrat, fenofibrat, gemfibrosil
Efek samping:
Gangguan saluran pencernaan (mual, mencret, perut kembung, dll), ruam kulit, kebotakan, impotensi, lekopenia, anemia, berat badan bertambah, gangguan irama jantung, radang otot.

1.    Ezetimibe
Ezetimibe dapat menurunkan total kolesterol dan LDL juga meningkatkan HDL. Ezetimibe bekerja dengan cara mengurangi penyerapan kolesterol di usus. Ezetimibe dapat digunakan sendiri jika antihiperlidemik lain tidak bisa ditoleransi tubuh atau dikombinasi denga golongan statin (penghambat HMGCoa reduktase) jika golongan statin tidak dapat menurunka kadar lipid darah sendirian.

4.8   Komplikasi
Komplikasi tertinggi akut infark adalah aritmia, aritmia yang sering memberikan komplikasi adalah ventrikel vibrilasi. Ventrikel vibrilasi 95% meninggal sebelum sampai rumah sakit. Komplikasi lain meliputi disfungsi ventrikel kiri/gagal jantung dan hipotensi/syok kardiogenik. (Darmawan, 2010)

4.9   Prognosis
Prognosis pada penyakit jantung koroner tergantung dari beberapa hal yaitu:
1.    Wilayah yang terkena oklusi
2.    Sirkulasi kolateral
3.    Durasi atau waktu oklusi
4.    Oklusi total atau parsial
5.    Kebutuhan oksigen miokard

Berikut prognosis pada penyakit jantung coroner:
1.    25% meninggal sebelum sampai ke rumah sakit
2.    Total mortalitas 15-30%
3.    Mortalitas pada usia < 50 tahun 10-20%
4.    Mortalitas usia > 50 tahun sekitar 20%

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1      Pengkajian
1.    Data subyektif :
1.    Lokasi nyeri (menyebar kebagian yang mana)
2.    Dada terasa berat, kencang, seperti diperas.
3.    Awitan dan lamanya nyeri.
4.    Faktor-faktor pencetus nyeri : kegiatan, panas, dingin, stress, makanan (banyak lemak).
5.    Faktor-faktor yang dapat mengurangi nyeri : istirahat, nitro-gliserin
6.    Data obyektif :
Apabila nyeri angina sedang dialami pasien, maka fokus perawat adalah tingkah laku pasien seperti, cemas, ketakutan dan memegang dada, disamping itu, perawat juga perlu melihat melihat tanda-tanda vital dan perubahan irama jantung.
1.    Aktivitas dan istirahat
Kelemahan, kelelahan, ketidakmampuan untuk tidur (mungkin di dapatkan Tachycardia dan dispnea pada saat beristirahat atau pada saat beraktivitas).
1.    Sirkulasi
Mempunyai riwayat IMA, Penyakit jantung koroner, CHF, Tekanan darah tinggi, diabetes melitus. Tekanan darah mungkin normal atau meningkat, nadi mungkin normal atau terlambatnya capilary refill time, disritmia. Suara jantung, suara jantung tambahan S3 atau S4 mungkin mencerminkan terjadinya kegagalan jantung/ ventrikel kehilangan kontraktilitasnya. Murmur jika ada merupakan akibat dari insufisensi katub atau muskulus papilaris yang tidak berfungsi. Heart rate mungkin meningkat atau menglami penurunan (tachy atau bradi cardia). Irama jnatung mungkin ireguler atau juga normal. Edema: Jugular vena distension, odema anasarka, crackles mungkin juga timbul dengan gagal jantung. Warna kulit mungkin pucat baik di bibir dan di kuku.
1.    Eliminasi
Bising usus mungkin meningkat atau juga normal.
1.    Nutrisi
Mual, kehilangan nafsu makan, penurunan turgor kulit, berkeringat banyak, muntah dan perubahan berat badan.
1.    Neuro sensori
Nyeri kepala yang hebat, Changes mentation.
1.    Kenyamanan
Timbulnya nyeri dada yang tiba-tiba yang tidak hilang dengan beristirahat atau dengan nitrogliserin. Lokasi nyeri dada bagian depan substerbnal yang mungkin menyebar sampai ke lengan, rahang dan wajah. Karakteristik nyeri dapat di katakan sebagai rasa nyeri yang sangat yang pernah di alami. Sebagai akibat nyeri tersebut mungkin di dapatkan wajah yang menyeringai, perubahan pustur tubuh, menangis, penurunan kontak mata, perubahan irama jantung, ECG, tekanan darah, respirasi dan warna kulit serta tingkat kesadaran.
1.    Respirasi
Dispnea dengan atau tanpa aktivitas, batuk produktif, riwayat perokok dengan penyakit pernafasan kronis. Pada pemeriksaan mungkin di dapatkan peningkatan respirasi, pucat atau cyanosis, suara nafas crakcles atau wheezes atau juga vesikuler. Sputum jernih atau juga merah muda/ pink tinged.
1.    Interaksi sosial
Stress, kesulitan dalam beradaptasi dengan stresor, emosi yang tak terkontrol.
1.    Pengetahuan
Riwayat di dalam keluarga ada yang menderita penyakit jantung, diabetes, stroke, hipertensi, perokok.
1.    Studi diagnostik
ECG menunjukan: adanya S-T elevasi yang merupakan tanda dri iskemi, gelombang T inversi atau hilang yang merupakan tanda dari injuri, dan gelombang Q yang mencerminkan adanya nekrosis. Enzym dan isoenzym pada jantung: CPK-MB meningkat dalam 4-12 jam, dan mencapai puncak pada 24 jam. Peningkatan SGOT dalam 6-12 jam dan mencapai puncak pada 36 jam.
1.    Elektrolit
Ketidakseimbangan yang memungkinkan terjadinya penurunan konduksi jantung dan kontraktilitas jantung seperti hipo atau hiperkalemia.
1.    Pemeriksaan penunjang
1.    Whole blood cell
Leukositosis mungkin timbul pada keesokan hari setelah serangan.
1.    Analisa gas darah
Menunjukan terjadinya hipoksia atau proses penyakit paru yang kronis ata akut.
1.    Kolesterol atau trigliserid
Mungkin mengalami peningkatan yang mengakibatkan terjadinya arteriosklerosis.
1.    Chest X ray
Mungkin normal atau adanya cardiomegali, CHF, atau aneurisma ventrikiler.
1.    Echocardiogram
Mungkin harus di lakukan guna menggambarkan fungsi atau kapasitas masing-masing ruang pada jantung.
1.    Exercise stress test
Menunjukan kemampuan jantung beradaptasi terhadap suatu stress/ aktivitas.

3.2      Diagnosa keperawatan
1.    Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan jantung atau sumbatan pada arteri koronaria.
2.    Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, adanya jaringan yang nekrotik dan iskemi pada miokard.
3.    Resiko terjadinya penurunan cardiac output berhubungan dengan perubahan dalam rate, irama, konduksi jantung, menurunya preload atau peningkatan SVR, miocardial infark.
4.    Resiko terjadinya penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan tekanan darah, hipovolemia.
5.    Resiko terjadinya ketidakseimbangan cairan excess berhubungan dengan penurunan perfusi organ (renal), peningkatan retensi natrium, penurunan plasma protein.

3.3     Intervensi
1.    Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan jantung atau sumbatan pada arteri koronaria.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien di harapkan mampu menunjukan adanya penurunan rasa nyeri dada, menunjukan adanya penuruna tekanan dan cara berelaksasi.
Intervensi    Rasional
1.    Monitor dan kaji karakteristik dan lokasi nyeri.
1.    Membantu membedakan nyeri dada dini dan alat evaluasi kemungkinan kemajuan menjadi angina tak stabil(angina stabil biasanya terjadi  3-5 menit sementara angina tidak stabil dapat  berakhir lebih dari 45 menit)
2.    Monitor tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respirasi, kesadaran).
1.    TD dapat meningkat secara sehubungan dengan rangsangan simpatis, kemudian turun bila curah jantung dipenuhi. Takikardi juga terjadi pada respons terhadap rangsangan simpatis dan dapat berlanjut sebagai kompensasi bila curah jantung turun.
2.    Anjurkan pada pasien agar segera melaporkan bila terjadi nyeri dada.
1.    Nyeri dan penurunan curah jantung dapat merangasang system saraf simaptis untuk mengeluarkan sebaggian besar norepinefrin yang meningkatkan agregasi trombosit dan mengeluarkan tromboxane A2. Ini vasokonstriksi poten yang meyebabkan spasme arteri korroner yang dapat mencetus, dan mengkomplikasi dan memperlama nyeri. Nyeri tak bisa ditahan yang menyebabkan vasogal, menurunkan TD dan tekanan jantung.
2.    Ciptakan suasana lingkungan yangtenang dan nyaman
1.    Stress mental/emosi meningkatkan kinerja miokard
2.    Ajarkan dan anjurkan pada pasien untuk melakukan tehnik relaksasi
1.    Teknik relaksasi dengan nafas dalam dapat mengurangi rasa nyeri
2.    Kolaborasi dalam : Pemberian oksigen dan Obat-obatan (beta blocker, anti angina, analgesic)
1.    Oksigen bermanfaat untuk meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard/iskemia
2.    Ukur tanda vital sebelum dan sesudah dilakukan pengobatan dengan narkosa.
1.    Memberikan informasi tentang kemajuan penyakit. Alat dalam evaluasi keefektifan intervensi dan dapat menunjukkan kebutuhan perubahan program pengobatan   
    
    
    
    
    
    

1.    Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, adanya jaringan yang nekrotik dan iskemi pada miokard.
Tujuan: setelah di lakukan tindakan perawatan klien menunnjukan peningkatan kemampuan dalam melakukan aktivitas (tekanan darah, nadi, irama dalam batas normal) tidak adanya angina.
Intervensi    Rasional
1.    Catat irama jantung, tekanan darah dan nadi sebelum, selama dan sesudah melakukan    Untuk memonitoring kondisi pasien
1.    Anjurkan pada pasien agar lebih banyak beristirahat terlebih dahulu.    Agar kerja jantung tidak berat, sehingga jantung dapat relaksasi
1.    Anjurkan pada pasien agar tidak “ngeden” pada saat buang air besar.    Agar pembuluh darah tidak mengalami vasokontriksi yang menyebabkan kerja jantung meningkat
1.    Jelaskan pada pasien tentang tahap- tahap aktivitas yang boleh dilakukan oleh pasien.    Agar pasien mengetahui apa saja aktivitas yang tidak boleh dilakukan

1.    Resiko terjadinya penurunan cardiac output berhubungan dengan perubahan dalam rate, irama, konduksi jantung, menurunya preload atau peningkatan SVR, miocardial infark.
Tujuan: tidak terjadi penurunan cardiac output selama di lakukan tindakan keperawatan.

Intervensi    Rasional
1.    Lakukan pengukuran tekanan darah (bandingkan kedua lengan pada posisi berdiri, duduk dan tiduran jika memungkinkan).    Takikardi dapat terjadi karena nyeri, cemas, hipoksemia dan menurunnya curah jantung. Perubahan juga terjadi pada TD(hipo/hiper) karena respon jantung.
1.    Catat warna kulit dan kaji kualitas nadi    Sirkulasi perifer turun jika curah jantung turun. Membuat kulit pucat atau warna abu-abu dan menurunnya kekuatan nadi
1.    Auskultasi suara nafas dan Catat perkembangan dari adanya S3 dan S4.    S3,S4 dan creackles terjadi karena dekompensasi jantung atau beberapa obat(penyekat beta).
1.    Dampingi pasien pada saat melakukan aktivitas.    Penghematan energy membantu menurunkan beban jantung
1.    Kolaborasi dalam: pemeriksaan serial ECG, foto thorax, pemberian obat-obatan anti disritmia.    Untuk hasil penunjang dan pengobatan lebih lanjut

1.    Resiko terjadinya penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan tekanan darah, hipovolemia.
Tujuan: selama dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi penurunan perfusi jaringan.
Intervensi    Rasional
1.    Kaji adanya perubahan kesadaran    Untuk mengevaluasi kondisi pasien
1.    Inspeksi adanya pucat, cyanosis, kulit yang dingin dan penurunan kualitas nadi perifer.    Untuk mengetahui kondisi tugor pasien
1.    Kaji adanya tanda Homans (pain in calf on dorsoflextion), erythema, edema.    Untuk mendeteksi adanya komplikasi
1.    Kaji respirasi (irama, kedalam dan usaha pernafasan).    Untuk mengevaluasi irama nafas pasien
1.    Kaji fungsi gastrointestinal (bising usus, abdominal distensi, constipasi).    Untuk mendeteksi terjadinya konstipasi
1.    Monitor intake dan out put.    Untuk mengetahui balance cairan dalam tubuh
1.    Kolaborasi dalam: Pemeriksaan ABG, BUN, Serum ceratinin dan elektrolit.    Untuk mendeteksi adanya kerusakan di gnjal

1.    Resiko terjadinya ketidakseimbangan cairan excess berhubungan dengan penurunan perfusi organ (renal), peningkatan retensi natrium, penurunan plasma protein.
Tujuan: tidak terjadi kelebihan cairan di dalam tubuh klien selama dalam perawatan.
Intervensi    Rasional
1.    Kaji adanya jugular vein distension, peningkatan terjadinya edema.    Untuk mengidentifikasi terjadinya jugular vein distension
1.    Ukur intake dan output (balance cairan).    Untuk mengetahui balance cairan di dalam tubuh
1.    Kaji berat badan setiap hari.    Untuk mengetahui pasien kurang gizi atau tidak
1.    Sajikan makanan dengan diet rendah garam    Agar pasien tidak mengalami hipertensi
1.    Kolaborasi dalam pemberian deuritika.    Agar cairan berlebih dalam tubuh dapat keluar dr tubuh

BAB 4
PENUTUP

4.1   Kesimpulan
Penyakit jantung koroner disebabkan karena terjadinya penumpukan plak pada arteri koroner yang berlangsung lama. Plak yang menempel pada arteri koroner lambat laun akan menyebabkan aterosklerosis. Penatalaksanaan hal ini dapat dilakukan dengan cara non operatif dan operatif, non operatif meliputi penggunaan obat-obatan dan perubahan gaya hidup sedangkan operatif dengan cara angioplasty dan CABG. Obat-obatan yang biasa digunakan untuk managemen lipid antara lain adalah golongan resin, kolestiramin, lovastatin dsb yang mempunyai efek samping yang berbeda-beda.

Sabtu, 23 Juni 2012

DEMAM TIPOID


BABI.
PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Demam Typoid
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002).
Penyakit Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi terutama menyerang bagian saluran pencernaan.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa.
1.2 Penyebab Demam Typoid
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella thypi dan Salmonella parathypi. Salmonela merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Salmonella memiliki karakteristik memfermentasikan glukosa dan mannose tanpa memproduksi gas, tetapi tidak memfermentasikan laktosa atau sukrose. Seperti Enterobacteriaceae yang lain Salmonella memiliki tiga macam antigen yaitu antigen O (tahan panas, terdiri dari lipopolisakarida), antigen Vi (tidak tahan panas, polisakarida), dan antigen H (dapat didenaturasi dengan panas dan alkohol). Antigen ini dapat digunakan untuk pemeriksaan penegak diagnosis. (Brooks, 2005).
1.3 Gejala Demam Typoid
Penyakit ini bisa menyerang saat bakteri tersebut masuk melalui makanan atau minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Kemudian mengikuti peredaran darah, bakteri ini mencapai hati dan limpa sehingga berkembang biak disana yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba.
Gejala klinik demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan dapat tanpa gejala (asimtomatik). Secara garis besar, tanda dan gejala yang ditimbulkan antara lain ;
1. Demam lebih dari seminggu. Siang hari biasanya terlihat segar namun menjelang malamnya demam tinggi.
2. Lidah kotor. Bagian tengah berwarna putih dan pinggirnya merah. Biasanya anak akan merasa lidahnya pahit dan cenderung ingin makan yang asam-asam atau pedas.
3. Mual Berat sampai muntah. Bakteri Salmonella typhi berkembang biak di hatidan limpa, Akibatnya terjadi pembengkakan dan akhirnya menekan lambung sehingga terjadi rasa mual. Dikarenakan mual yang berlebihan, akhirnya makanan tak bisa masuk secara sempurna dan biasanya keluar lagi lewat mulut.
4. Diare atau Mencret. Sifat bakteri yang menyerang saluran cerna menyebabkan gangguan penyerapan cairan yang akhirnya terjadi diare, namun dalam beberapa kasus justru terjadi konstipasi (sulit buang air besar).
5. Lemas, pusing, dan sakit perut. Demam yang tinggi menimbulkan rasa lemas, pusing. Terjadinya pembengkakan hati dan limpa menimbulkan rasa sakit di perut.
6. Pingsan, Tak sadarkan diri. Penderita umumnya lebih merasakan nyaman dengan berbaring tanpa banyak pergerakan, namun dengan kondisi yang parah seringkali terjadi gangguan kesadaran.
1.4 Penularan Demam Typoid
Penyakit demam Tifoid ini bisa menyerang saat kuman tersebut masuk melalui makanan atau minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Dan melalui peredaran darah, kuman sampai di organ tubuh terutama hati dan limpa. Ia kemudian berkembang biak dalam hati dan limpa yang menyebabkan rasa nyeri saat diraba.
1.5 Pencegahan
Untuk dapat mencegah penyakit ini harus tahu terlebih dahulu cara penularan dan faktor resikonya. Kuman S typhi menular melalui jalur oro-fekal, artinya kuman masuk melalui makanan atau minuman yang tercermar oleh feses yang mengandung S typhi. Di negara endemis seperti Indonesia, faktor resikonya antara lain makan makanan yang tidak disiapkan sendiri di rumah (karena tidak terjamin kebersihannya), minum air yang terkontaminasi, kontak dekat dengan penderita tifoid, sanitasi perumahan yang buruk, higiene perorangan yang tidak baik dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat.
Oleh karena itu, pencegahan yang paling sederhana adalah dengan mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air, menyiapkan makanan sendiri, tidak buang air besar sembarangan (di negara kita masih banyak keluarga yang tidak memiliki jamban sendiri), memasak makanan terlebih dahulu, bijak dalam menggunakan antibiotik.
Selain hal-hal di atas, saat ini sudah tersedia vaksin untuk tifoid. Ada 2 macam vaksin, yaitu vaksin hidup yang diberikan secara oral (Ty21A) dan vaksin polisakarida Vi yang diberikan secara intramuskular/disuntikkan ke dalam otot. Menurut FDA Amerika, efektivitas kedua vaksin ini bervariasi antara 50-80 %.
Vaksin hidup Ty21A diberikan kepada orang dewasa dan anak yang berusia 6 tahun atau lebih. Vaksin ini berupa kapsul, diberikan dalam 4 dosis, selang 2 hari. Kapsul diminum dengan air dingin (suhunya tidak lebih dari 37 oC), 1 jam sebelum makan. Kapsul harus disimpan dalam kulkas (bukan di freezer). Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh (HIV, keganasan). Vaksin juga jangan diberikan pada orang yang sedang mengalami gangguan pencernaan. Penggunaan antibiotik harus dihindari 24 jam sebelum dosis pertama dan 7 hari setelah dosis keempat. Sebaiknya tidak diberikan kepada wanita hamil. Vaksin ini harus diulang setiap 5 tahun. Efek samping yang mungkin timbul antara lain, mual, muntah, rasa tidak nyaman di perut, demam, sakit kepala dan urtikaria.
Vaksin polisakarida Vi dapat diberikan pada orang dewasa dan anak yang berusia 2 tahun atau lebih. Cukup disuntikkan ke dalam otot 1 kali dengan dosis 0,5 mL. Vaksin ini dapat diberikan kepada orang yang mengalami penurunan sistem imun. Satu-satunya kontra indikasi vaksin ini adalah riwayat timbulnya reaksi lokal yang berat di tempat penyuntikkan atau reaksi sistemik terhadap dosis vaksin sebelumnya. Vaksin ini harus diulang setiap 2 tahun. Efek samping yang mungkin timbul lebih ringan dari pada jika diberikan vaksin hidup. Dapat timbul reaksi lokal di daerah penyuntikkan. Tidak ada data yang cukup untuk direkomendasikan kepada wanita hamil.



BAB II.
GAMBARAN EPIDEMIOLOGI

Penyakit Typhus atau Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi terutama menyerang bagian saluran pencernaan.
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan dewasa. Di Indonesia penderita demam tifoid cukup banyak diperkirakan 800 /100.000 penduduk per tahun dan tersebar di mana-mana. Ditemukan hampir sepanjang tahun, tetapi terutama pada musim panas. Demam tifoid dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak besar,umur 5- 9 tahun.
Situasi penyakit Typhus (demam typhoid) di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2005 sebanyak 16.478 kasus, dengan kematian sebanyak 6 orang (CFR=1%). Berdasarkan laporan yang di terima oleh Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel dari beberapa kabupaten yang menunjukkan kasus tertinggi yakni Kota Parepare, Kota Makassar, Kota Palopo, Kab. Enrekang dan Kab. Gowa. Sedangkan untuk tahun 2006, tercatata jumlah penderita sebanyak 16.909 dengan kematian sebanyak 11 orang (CFR=0,07%) dan sebaran kasus tertinggi di Kab. Gowa, Kab. Enrekang, Kota Makassar dan Kota Parepare.
Pada tahun 2007 tercatat jumlah penderita sebanyak 16.552 dengan kematian sebanyak 5 orang (CFR=0,03 %) dengan sebaran kasus tertinggi di Kab.Gowa, Kab.Enrekang dan Kota Makassar. Penyakit typhus berdasarkan Riskesdas tahun 2007 secara nasional di Sulawesi Selatan, penyakit typhus tersebar di semua umur dan cenderung lebih tinggi pada umur dewasa. Prevalensi klinis banyak ditemukan pada kelompok umur sekolah yaitu 1,9%, terendah pada bayi yaitu 0,8%.
Dari data program tahun 2008 penyakit typhus tercatat jumlah penderita sebanyak 20.088 dengan kematian sebanyak 3 orang, masing-masing Kab. Gowa (1 orang) dan Barru (2 orang) atau CFR= 0,01 %. Insiden Rate (IR=0.28%) yaitu tertinggi di Kab.Gowa yaitu 2.391 kasus dan terendah di Kab. Luwu yaitu 94 kasus, tertinggi pada umur 15-44 tahun) sebanyak 15.212 kasus.
 


BAB III.
PEMBAHASAN
Demam Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemic) di Indonesia, mulai usia balita sampai orang dewasa. Prevalensi demam typhoid paling tinggi pada usia 15-44 tahun karena pada usia tersebut orang-orang cenderung memiliki aktivitas fisik yang banyak, atau dapat dikatakan sibuk dengan pekerjaan dan kemudian kurang memeperhatikan pola makannya, akibatnya mereka cenderung lebih memilih makan di luar rumah , atau jajan di tempat lain ,khususnya pada anak usia sekolah, yang mungkin tingkat kebersihannya masih kurang dimana bakteri Salmonella thypi banyak berkembang biak khususnya dalam makanan sehingga mereka tertular demam typhoid . Pada usia anak sekolah , mereka cenderung kurang memperhatikan kebersihan/hygiene perseorangannya yang mungkin diakibatkan karena ketidaktahuannya bahwa dengan jajan makanan sembarang dapat menyebabkan tertular penyakit demam typhoid.
Sedangkan pada anak-anak usia 0-1 tahun prevalensinya lebih rendah karena kelompok umur ini cenderung mengkonsumsi makanan yang berasal dari rumah masing-masing yang tingkat kebersihannya masih cukup baik dibanding yang dijual di warung-warung makanan (makanan yang diberikan dimasak sendiri oleh ibu bayi tersebut). Namun kelompok umur ini tidak dapat terhindar dari penyakit demam typhoid, mungkin salah satu akibatnya adalah tingkat hygine perseorangan dari ibu bayi tersebut. Mungkin ibu bayi tersebut kurang memperhatikan kebersihan makanan yang ia konsumsi, selanjutnya ibu tersebut menderita demam typhoid dan kemudian menularkan pada bayinya melalui makanan yang mengandung bakteri Salmonella thypi.
Perbedaan insiden demam typhoid di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang kurang memadai serta sanitasi lingkungan yang masih buruk di tempat tersebut . Dari tabel yang telah ditunjukkan di atas bahwa paling banyak penderita di kabupaten Gowa, hal ini disebabkan oleh sistem penyediaan air bersih oleh pihak pemerintah yang kurang memadai, misalnya air bersih yang disalurkan ke rumah-rumah penduduk masih mengandung bakteri Salmonella thypi akibat kurang efektifnya sistem kebersihan air minum tersebut.
Tingginya kasus demam typhoid juga dapat disebabkan oleh masih banyaknya masyarakat di Kabupaten Gowa yang masih menggunakan jamban yang tidak memenuhi standar kesehatan ( masih menggunakan wc cemplung) atau masih membuang air besar di saluran air atau sungai sehingga penyebaran bakteri Salmonella thypi sebagai agen penyebab demam typhoid lebih tinggi dibandingkan di kabupaten Luwu.
Penyebab lainnya yaitu kebiasaan masyarakat Kabupaten Gowa yang kurang memperhatikan tempat pembuangan sampah, dimana hal ini dapat menyebabkan lalat dapat berkumpul banyak dan tingkat penyebaran demam typhoid akan lebih tinggi disbanding Kabupaten Luwu yang memilki tempat pembuangan sampah yang lebih terorganisir.
Tingginya prevalensi kasus demam typhoid juga dapat dipengaruhi oleh kebiasaan cara makan masyarakat di kabupaten Gowa, misalnya kebiasaan makan menggunakan tangan (tanpa menggunakan sendok) yang terbukti dapat meningkatkan frekuensi terular penyakit demam typhoid disbanding yang menggunakan sendok, terlebih lagi jika tidak ada kebiasaan mencuci tangan sebelum makan.
Dari berbagai penelitian terhadap demam typhoid, penyakit ini dapat timbul sepanjang tahun. Menurut waktu, dari tabel di atas dapat diketahui paling banyak jumlah penderita demam Typhoid pada bulan April sebesar 2350 penderita, dan terendah pada bulan November yaitu sebanyak 707 penderita. Hal ini dapat disebabkan oleh karena bulan April merupakan musim kemarau, dimana pada masa seperti inilah bakteri Salmonella thypi dapat berkembang biak dengan cepat sehingga prevalensi demam typhoid juga cenderung meningkat bila dibandigkan bulan November yang merupakan musim penghujan.


BAB IV.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Demam Typhoid adalah penyakit infeksi akut yang selalu ada di masyarakat (endemic) di Indonesia, mulai usia balita sampai orang dewasa.
2. Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella thypi dan Salmonella parathypi. Salmonela merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae.
3. Penyakit demam Tifoid ini bisa menyerang saat kuman tersebut masuk melalui makanan atau minuman, sehingga terjadi infeksi saluran pencernaan yaitu usus halus. Dan melalui peredaran darah, kuman sampai di organ tubuh terutama hati dan limpa.
4. Pencegahan terjadinya demam typhoid:
a. mencuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air
b. menyiapkan makanan sendiri
c. tidak buang air besar sembarangan (di negara kita masih banyak keluarga yang tidak memiliki jamban sendiri)
d. memasak makanan terlebih dahulu
e. bijak dalam menggunakan antibiotik.
5. Distribusi demam typhoid menurut orang, jumlah penderita demam typhoid paling tinggi pada usia 15-44 tahun yaitu sebesar 8154 penderita dan yang paling rendah pada usia 0-1 tahun sebesar 184 penderita.
6. Distribusi demam typhoid menurut tempat, jumlah penderita paling tinggi terdapat di daerah kabupaten Gowa yaitu sebanyak 2350 penderita dan paling rendah terdapat di kabupaten Luwu yaitu sebanyak 94 penderita.
7. Distribusi demam typhoid menurut waktu, dapat diketahui paling banyak jumlah penderita demam Typhoid pada bulan April sebesar 2350 penderita, dan terendah pada bulan November yaitu sebanyak 707 penderita. Hal ini dapat disebabkan oleh karena bulan April merupakan musim kemarau, dimana pada masa seperti inilah bakteri Salmonella thypi dapat berkembang biak dengan cepat sehingga prevalensi demam typhoid juga cenderung meningkat bila dibandingkan bulan November yang merupakan musim penghujan.
4.2 Saran
1. Program pencegahan penyakit demam typhoid hendaknya lebih dioptimalkan dengan melibatkan berbagai sector, baik itu masyarakat, pemerintah, dan petugas pelayanan kesehatan.
2. Peningkatan sanitasi terhadap lingkungan dan hygiene perorangan hendaknya lebih mendapatkan perhatian penuh dan dilakukan upaya promotif untuk mencegah, mengurangi bahkan menghilangkan kejadian penyakit demam typhoid.


DEMAM BERDARAH (DENGUE)

 
I.PENDAHULUAN



A.      Latar Belakang Masalah


Demam berdarah dengue (DBD), merupakan penyakit yang masih sering terjadi di berbagai daerah. Hal ini dikarenakan nyamuk penular dan virus penyebab penyakit ini hidup di sekitar kita. Pada tahun 1968, di Indonesia mulai ditemukan kasus penyakit demam berdarah dengue (DBD) terutama di Jakarta dan Surbaya. Masalah ini merupakan masalah klasik, karena kejadiannya hampir disetiap tahun, khususnya di awal musim penghujan. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan kerugian dalam bentuk materi berupa biaya pengobatan tetapi juga pengorbanan moril (korban jiwa) (Soedarmono 1988 dalam Kardinan, 2007).

Penyakit demam berdarah ini merupakan penyakit yang banyak menyerang penduduk di negara yang beriklim tropis. Hal ini dikarenakan, negara-negara tersebut memiliki kisaran suhu yang sama dengan kisaran suhu optimum bagi kehidupan nyamuk. Penyakit ini mulai ditemukan di Asia Tenggara setelah Perang Dunia II dan selama 15 tahun terakhir menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat dunia (Hastowo et al 1992 dalam Sanjaya dkk, 2006).






Di Indonesia, kasus demam berdarah pada umumnya terjadi di kota-kota dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta. Namun seiring perkembangan daerah dan mobilitas penduduk yang tinggi, penyakit ini sudah menyebar hampir diseluruh wilayah di tanah air (Hastowo et al 1992 dalam Sanjaya dkk, 2006).

DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue.  Penderita demam berdarah akan ditandai dengan gejala klinis berupa demam tinggi yang berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, pendarahan yang biasanya didahului tanda khas berupa bintik-bintik merah (petechia) pada penderita, hepatomegali dan kegagalan peredaran darah.  Vektor utama dari demam berdarah adalah nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vektor potensial (Hoedojo dkk, 1998).

Demam berdarah ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, dengan cara mengisap darah korban dan memindahkan virus penyakit demam berdarah ke tubuh orang lain (Hastowo et al 1992 dalam Sanjaya dkk, 2006).

Menurut Roche (2004), penyakit demam berdarah yang ditularkan oleh nyamuk Aedes terbagi dalam dua golongan, yaitu demam dengue (Dengue Fever) dan demam berdarah dengue (DBD). Demam dengue (Dengue Fever) atau lebih dikenal di Indonesia sebagai penyakit cikunguya (Break Bone Fever) yang menyerang persendian tulang, namun tidak berakibat fatal (kematian) bagi manusia yang ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus (nyamuk kebun), sedangkan demam berdarah dengue (DBD)  ditularkan oleh Aedes aegypti. Virus demam berdarah (Dengue Flavivirus) terdiri dari 4 serotypes (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4). Jika seseorang pernah terinfeksi oleh salah satu serotypes, maka biasanya akan kebal terhadap serotypes tersebut dalam jangka waktu tertentu. Namun tidak akan kebal terhadap serotypes lainnya, melainkan akan menjadi sensitif terhadap serangan demam berdarah Dengue Hemorrhagic Fever (Roche 2004 dalam Kardinan, 2007)

Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan dalam mengendalikan vektor DBD ini, salah satunya yaitu dengan penggunaan insektisida kimia yang dianggap lebih efektif dalam menanggulangi vektor. Namun, penggunaan insektisida kimia yang terus menerus dalam jangka waktu yang  lama akan menimbulkan resistensi terhadap serangga target. Hal ini terkait karena kemampuan vektor dalam mengembangkan sistem kekebalan tubuhnya terhadap insektisida yang sering digunakan dalam pengendalian nyamuk (Nusa dkk, 2008).

Cara lain dalam pengendalian nyamuk, yaitu dengan menghindari gigitan nyamuk. Salah satunya dengan pemakaian anti nyamuk berbentuk lotion, cream, ataupun pakaian yang dapat melindungi tubuh dari gigitan nyamuk. Di Indonesia, hampir semua lotion anti nyamuk yang beredar mengandung bahan kimia sintetis dan berbahan aktif DEET (Diethyl toluamide). Bahan kimia sintesis mengandung racun, dalam konsentrasi 10-15% dan akan berbahaya khususnya bagi anak-anak apabila penggunaanya kurang hati-hati. Bahan aktif DEET ini tidak akan larut dalam air, menempel pada kulit selama 8 jam dan akan terserap masuk ke dalam tubuh melalui pori-pori kulit menuju sirkulasi darah. Hanya 10-15% yang akan terbuang melalui urin (Gunandini 2006 dalam Kardinan, 2007).
Oleh karena itu untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dari penggunaan insektisida kimia dan bahan kimia sintesis yang mengandung racun. Diperlukan cara lain yang lebih aman, efektif dan efisien serta ramah lingkungan, yaitu insektisida yang berasal dari tumbuh – tumbuhan.

Ada beberapa tanaman yang memiliki bau yang khas dan yang aromanya tidak disukai oleh nyamuk. Tanaman-tanaman tersebut mengandung insektisida alami dari berbagai senyawa metabolik sekunder yang dihasilkannya, sehingga mengeluarkan bau yang khas dan tidak disukai oleh nyamuk. Tanaman ini terbagi dalam dua jenis, yaitu tanaman yang secara langsung dapat mengusir nyamuk karena aroma yang dikeluarkan tanaman tersebut,  seperti : geranium, selasih, zodia dan suren dan tanaman yang dapat menghasilkan zat pengusir nyamuk yang sebelumnya harus melalui proses pengolahan terlebih dahulu, seperti : lavender, kayu putih, serai wangi, akar wangi, cengkeh dan nimba (Pradani 2007 dalam Depkes RI, 2007).

Salah satu tanaman yang mudah di dapat dan bermanfaat ganda bagi manusia adalah daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb). Pandan  wangi adalah tanaman yang sering dimanfaatkan dalam pengolahan makanan, komponen hiasan dalam penyajian makanan dan menghasilkan metabolit sekunder, salah satunya mengandung insektisida berupa saponin. Menurut Rohmawati (1995), kandungan kimia yang ada di daun pandan wangi adalah senyawa pahit berupa polifenol, flavonoid, saponin, minyak astiri dan alkaloid (Rohmawati 1995 dalam Susanna dkk, 2003).

B.       Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1.    Pengaruh daya tolak ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap nyamuk Ae. aegypti pada berbagai konsentrasi.
2.    Pengaruh persistensi (lamanya waktu) ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) yang dioleskan pada lengan uji terhadap nyamuk Ae. aegypti.

C.      Manfaat Penelitian

Sebagai informasi tambahan kepada masyarakat tentang manfaat ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) yang dapat digunakan sebagai zat penolak terhadap nyamuk Ae. aegypti.

D.      Kerangka Pikir

Salah satu yang penyebab wabah DBD di Indonesia berkembang dengan pesat adalah faktor lingkungan yang cocok sebagai tempat perindukan (suhu) vektor DBD ini yaitu nyamuk Ae. aegypti. 

Nyamuk Ae. aegypti merupakan serangga yang memiliki siklus hidup yang sempurna dan hidupnya tersebar luas didaerah-daerah yang beriklim panas dan dingin terutama pada genangan-genangan air, tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari dan tempat penampungan air alamiah (lubang pohon, pelepah daun potongan bambu, dll).

Kurangnya tingkat kesadaran masyarakat kita dalam menjaga kebersihan di lingkungan sekitarnya merupakan pemicu mudahnya wabah DBD menyebar di Indonesia.

Berbagai cara telah dilakukan untuk mengendalikan dan mencegah berkembangnya nyamuk vektor DBD ini, seperti dengan cara fogging (pengasapan dengan bahan kimia). Banyaknya bahan kimia yang sering digunakan dalam mengendalikan perkembangan nyamuk ini menimbulkan dampak langsung terhadap lingkungan hidup dan dapat memicu masalah masalah baru, yaitu resistensi terhadap serangga target.  Contoh kasus, resistensi pernah terjadi pada penggunaan pertisida DDT terhadap nyamuk, dimana pertama kali digunakan tahun 1946. Sejak itulah lebih dari seratus spesies nyamuk resisten terhadap satu insektisida ini. Hal ini dikarenakan nyamuk dan vektor serangga lainnya mampu mengembangkan sistem kekebalan terhadap insektisida yang sering digunakan dan nyamuk yang sudah menjadi resisten akan menurunkan sifat resisten mereka kepada keturunannya. Terdapat 3 cara masuknya insektisida ke dalam tubuh serangga, yaitu melalui kulit (racun kontak), melalui mulut (racun perut/pencernaan) dan melalui sistem jalan nafas (racun pernafasan).

Oleh karena itu, dibutuhkan alternatif lain dalam mengendalikan vektor penyebab demam berdarah tersebut, yaitu dengan cara menggunakan tanaman yang tidak disukai nyamuk tetapi tidak berbahaya bagi lingkungan hidup. Salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan dan ramah lingkungan adalah dengan menggunakan ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap nyamuk Ae. aegypti.

Pandan wangi merupakan tanaman yang sangat bermanfaat bagi manusia dan memiliki bau yang khas. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman yang bersifat toksik dan memiliki beberapa senyawa metabolit sekunder berupa berupa alkaloida, saponin, sterol, terpenoid, flavonoida, tanin, polifenol, dan zat warna. Bau khas yang dimilikinya berasal dari komponen aroma dasar dari senyawa kimia 2-acetyl-1-pyrroline (ACPY) yang juga terdapat di tumbuhan jasmin.

Berdasarkan informasi di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui uji daya tolak ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap nyamuk Ae. aegypti.

E.       Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) dapat digunakan sebagai penolak (repellent) nyamuk Ae. aegypti.


LEUKEMIA
TUJUAN
Agar mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan terapi pada penyakit leukemia, serta dapat menyampaikan informasi yang dibutuhkan.

DASAR TEORI
Kanker
            Kanker merupakan suatu kelompok dari banyak penyakit-penyakit yang berhubungan. Semua kanker-kanker mulai di sel-sel, yang membentuk darah dan jaringan-jaringan lain. Secara normal, sel-sel tumbuh dan membelah untuk membentuk sel-sel baru ketika tubuh membutuhkan mereka. Ketika sel-sel tumbuh menjadi tua, mereka mati, dan sel-sel baru mengambil tempat mereka. Adakalanya proses yang teratur ini berjalan salah. Sel-sel baru terbentuk ketika tubuh tidak memerlukan mereka, dan sel-sel tua tidak mati ketika mereka seharusnya mati.
            Kanker (suatu penyakit sel) ditandai dengan suatu pergeseran pada mekanisme kontrol yang mengatur proliferasi dan diferensiasi sel. Sel yang sudah mengalami transformasi neoplastik biasanya mengekspresikan antigen permukaan sel yang tampaknya merupakan tipe normal dan memiliki tanda ketidakmatangan yang jelas dan dapat menunjukkan kelainan kromoson baik kualitatif maupun kuantitatif, termasuk pelbagai traslokasi dan munculnya pengerasan dari rangkaian gen. Sel-sel tadi berkembang dengan cepat dan membentuk tumor lokal yang dapat menekan atau menyerang struktur jaringan sehat di sekitarnya. Subpopulasi sel yang berada dalam tumor dapat digambarkan sebagai ’sel induk tumor’, yang memiliki kemampuan untuk mengulangi siklus proliferasi berkali-kali dan berpindah ke sisi yang jauh di dalam tubuh untuk membentuk koloni dalam berbgai organ tubuh, proses ini disebut metastase. Induk sel tumor dapat mengekspresikan klonogenik atau kemampuan untuk membentuk koloni. Sel induk memiliki kelainan kromosom yang merefleksikan ketidakseimbangan genetiknya, yang mengarah pada seleksi subklon yang progresif yang dapat bertahan dan berkembang lebih cepat dalam lingkungan multiseluler tubuh. Kelainan kuantitatif dalam pelbagai alur metabolisme dan komponen selular berkaitan dalam perkembangan neoplastik ini. Proses invasif dan metastatik demikian pula kelainan metabolisme akibat kanker akan menyebabkan penyakit dan akhirnya kematian kecuali kanker dapat disembuhkan dengan pengobatan.    
Leukemia
            Leukemia adalah suatu tipe dari kanker. Leukemia berasal dari kata Yunani leukos-putih, haima-darah. Leukemia adalah kanker yang mulai di sel-sel darah. Penyakit ini terjadi ketika sel darah memiliki sifat kanker yaitu membelah tidak terkontrol dan mengganggu pembelahan sel darah normal. Leukemia (kanker darah) adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darh putih yang diproduksi oleh sumsum tulang (bone marrow).
Sel-Sel Darah Normal
            Sel-sel darah terbentuk di sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang adalah material yang lunak dipusat dari kebanyakan tulang-tulang. Sel-sel darah yang belum menjadi dewasa (matang) disebut sel-sel induk (stem cells) dan blasts. Kebanyakan sel-sel darah menjadi dewasa didalam sumsum tulang dan kemudian bergerak kedalam pembuluh-pembuluh darah. Darah yang mengalir melalui pembuluh-pembuluh darah dan jantung disebut peripheral blood.
Sumsum tulang membuat tipe-tipe yang berbeda dari sel-sel darah. Setiap tipe mempunyai suatu fungsi yang khusus:
-          Sel-sel darah putih membantu melawan infeksi.
-          Sel-sel darah merah mengangkut oksigen ke jaringan-jaringan diseluruh tubuh.
-          Platelet-platelet membantu membentuk bekuan-bekuan (gumpalan-gumpalan) darah yang mengontrol perdarahan.
Sel-Sel Leukemia
            Pada kondisi leukemia, sel darah putih tidak merespon signal yang dikirim oleh tubuh, sehingga sel-sel pembentuk darah pada sumsum tulang dan jaringan limfoid memperbanyak diri secara tidak normal atau mengalami transformasi maligna. Sel-sel normal pada sumsum tulang diganti dengan sel abnormal yang kemudian keluar dari sumsum dan ditemukan di dalam darah. Sel leukemia ini mempengaruhi hematopoiesis (pembentukan sel darah normal) dan imunitas tubuh penderita. Sel leukemia menghasilkan FGFs (Fibroblast Growth Factors) yang mengacaukan fungsi autokrin dan parakrin pada sumsum tulang dan menstimulasi produksi sitokin oleh sel stroma dan endotelium. FGFs juga mengacaukan variasi tipe sel mesodermal dan neuroectodermal yang berakibat perubahan proliferasi, pergerakan, ketahanan dan diferensiasi sel. FGFs mengacaukan aktivitas tersebut dengan berikatan pada reseptor protein kinase dan permukaan sel heparan sulfate proteoglycans. Sehingga penderita mudah terkena infeksi, anemia dan pendarahan akibat gangguan pembentukan darah.
Etiologi
            Penyebab dari penyakit ini tidak diketahui secara pasti.  Bagaimanapun, penelitian telah menunjukan bahwa orang-orang dengan faktor-faktor risiko tertentu lebih mungkin daripada yang lain-lain mengembangkan leukemia. Suatu faktor risiko adalah apa saja yang meningkatkan kesempatan seseorang mengembangkan suatu penyakit.

Faktor yang diduga mempengaruhi frekuensi terjadinya leukemia yaitu:
1)      Radiasi
            Berdasarkan laporan riset menunjukkan bahwa :  
  • Para pegawai radiologi lebih beresiko untuk terkena leukemia
  • Pasien yang menerima radioterapi beresiko terkena leukemia
  • Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang
2)      Faktor leukemogenik
            Terdapat beberapa zat kimia yang telah diidentifikasi dapat mempengaruhi frekuensi         leukemia:
  • Racun lingkungan seperti benzena à Paparan pada tingkat-tingkat yang tinggi dari benzene pada tempat kerja dapat menyebabkan leukemia
  • Bahan kimia industri seperti insektisida dan Formaldehyde.
  • Obat untuk kemoterapi à Pasien-pasien kanker yang dirawat dengan obat-obat melawan kanker tertentu adakalanya dikemudian hari mengembangkan leukemia. Contohnya, obat-obat yang dikenal sebagai agen-agen alkylating dihubungkan dengan pengembangan leukemia bertahun-tahun kemudian.
3)      Herediter
Penderita sindrom Down, suatu penyakit yang disebabkan oleh kromosom-kromosom abnormal mungkin meningkatkan risiko leukemia. Ia memiliki insidensi leukemia akut 20 kali lebih besar dari orang normal.
4)      Virus
Virus dapat menyebabkan leukemia seperti retrovirus, virus leukemia feline, HTLV-1 pada dewasa.
Patofisiologi
            Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan  kita dengan infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai dengan perintah, dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan tubuh kita. Lekemia meningkatkan produksi sel darah putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel lekemia memblok produksi sel  darah putih yang normal , merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel lekemia juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan. Menurut Smeltzer dan Bare (2001) analisa sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau perubahan struktur, yang termasuk translokasi ini, dua atau lebih kromosom mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.
            Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan genetik sel yang kompleks). Penyusunan kembali kromosom (translokasi kromosom) mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya, termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal dan otak.

            Tipe-Tipe Leukemia
v  Berdasarkan kecepatan perkembangannya, leukemia dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Leukemia Akut
Perjalanan penyakit pada leukemia akut sangat cepat, mematikan dan memburuk. Dapat dikatakan waktu hidup penderita tanpa pengobatan hanya dalam hitungan minggu bahkan hari. Leukemia kaut merupakan akibat dari terjadinya komplikasi pada neoplasma hematopoietik secara umum.
2.      Leukemia kronis
Berbeda dengan akut, leukemia kronis memiliki perjalanan penyakit yang tidak begitu cepat, sehingga dapat dikatakan bahwa waktu hidup penderita tanpa pengobatan dalam hitungan samapi 5 tahun.

v  Berdasarkan jenis sel kanker, leukemia diklaifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu:
1.      Myelocytic/Myelogeneus leukemia
Sel kanker yang berasal dari sel darah merah, granulocytes, macrophages dan keping darah.
2.      Lymphocytic leukemia
Sel kanker yang berasal dari lymphocyte cell.

v  Berdasarkan kedua klasifikasi di atas, maka leukemia dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
a.       Leukemia limfositik akut (LLA).
Merupakan tipe leukemia paling sering terjadi pada anak-anak. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang terutama telah berumur 65 tahun atau lebih.
b.       Leukemia mielositik akut (LMA).
Ini lebih sering terjadi pada dewasa daripada anak-anak. Tipe ini dahulunya disebut leukemia nonlimfositik akut.
c.         Leukemia limfositik kronis (LLK).
Hal ini sering diderita oleh orang dewasa yang berumur lebih dari 55 tahun. Kadang-kadang juga diderita oleh dewasa muda, dan hampir tidak ada pada anak-anak. Sebagian besar leukosit pasien di atas 50.000/µL.
d.      Leukemia mielositik kronis (LMK)
Sering terjadi pada orang dewasa. Dapat juga terjadi pada anak-anak, namun sangat sedikit. Leukosit dapat mencapai lebih dari 150.000/ µL yang memerlukan pengobatan.

Gejala-Gejala Leukemia
            Seperti semua sel-sel darah, sel-sel leukemia berjalan keseluruh tubuh. Tergantung pada jumlah sel-sel abnormal dan dimana sel-sel ini berkumpul, pasien-pasien dengan leukemia mungkin mempunyai sejumlah gejala-gejala.
Gejala-gejala umum dari leukemia:
-          Demam-demam atau keringat-keringat waktu malam
-          Infeksi-infeksi yang seringkali
-          Perasaan lemah atau lelah
-          Sakit kepala
-          Perdarahan dan mudah memar (gusi-gusi yang berdarah, tanda-tanda keungu-unguan pada kulit, atau titik-titik merah yang kecil dibawah kulit)
-          Nyeri pada tulang-tulang atau persendian-persendian
-          Pembengkakan atau ketidakenakan pada perut (dari suatu pembesaran limpa)
-          Pembengkakan nodus-nodus getah bening, terutama pada leher atau ketiak
-          Kehilangan berat badan
            Gejala-gejala semacam ini bukanlah tanda-tanda yang pasti dari leukemia. Suatu infeksi atau persoalan lain juga dapat menyebabkan gejala-gejala ini. Siapa saja dengan gejala-gejala ini harus mengunjungi dokter sesegera mungkin. Hanya seorang dokter dapat mendiagnosa dan merawat persoalannya.
            Pada tingkat-tingkat awal dari leukemia kronis, sel-sel leukemia berfungsi hampir secara normal. Gejala-gejala mungkin tidak nampak untuk suatu waktu yang lama. Dokter-dokter seringkali menemukan leukemia kronis sewaktu suatu checkup rutin — sebelum ada gejala-gejala apa saja. Ketika gejala-gejala nampak, mereka umumnya adalah ringan pada permulaan dan memburuk secara berangsur-angsur.
            Pada leukemia akut, gejala-gejala nampak dan memburuk secara cepat. Orang-orang dengan penyakit ini pergi ke dokter karena mereka merasa sakit. Gejala-gejala lain dari leukemia akut adalah muntah, bingung, kehilangan kontrol otot, dan serangan-serangan (epilepsi). Sel-sel leukemia juga dapat berkumpul pada buah-buah pelir (testikel) dan menyebabkan pembengkakan. Juga, beberapa pasien-pasien mengembangkan luka-luka pada mata-mata atau pada kulit. Leukemia juga dapat mempengaruhi saluran pencernaan, ginjal-ginjal, paru-paru, atau bagian-bagian lain dari tubuh.
Mendiagnosa Leukemia
            Jika seseorang mempunyai gejala-gejala yang menyarankan leukemia, dokter mungkin melakukan suatu pemeriksaan fisik dan menanyakan tentang sejarah medis pribadi pasien dan keluarga. Dokter juga mungkin meminta tes-tes laboratorium, terutama tes-tes darah.
Pemeriksaan-pemeriksaan dan tes-tes mungkin termasuk yang berikut:
1.    Pemeriksaan Fisik—Dokter memeriksa pembengkakan nodus-nodus getah bening, limpa, dan hati.
2.    Tes-Tes Darah—Laboratorium memeriksa tingkat sel-sel darah. Leukemia menyebabkan suatu tingkatan sel-sel darah putih yang sangat tinggi. Ia juga menyebabkan tingkatan-tingkatan yang rendah dari platelet-platelet dan hemoglobin, yang ditemukan didalam sel-sel darah merah. Lab juga mungkin memeriksa darah untuk tanda-tanda bahwa leukemia telah mempengaruhi hati dan ginjal-ginjal.
3.    Biopsi—Dokter mengangkat beberapa sumsum tulang dari tulang pinggul atau tulang besar lainnya. Seorang ahli patologi memeriksa contoh dibahwah sebuah mikroskop. Pengangkatan jaringan untuk mencari sel-sel kanker disebut suatu biopsi. Suatu biopsi adalah cara satu-satunya yang pasti untuk mengetahui apakah sel-sel leukemia ada didalam sumsum tulang.
Ada dua cara dokter dapat memperoleh sumsum tulang. Beberapa pasien-pasien akan mempunyai kedua-duanya prosedur:
·         Bone marrow aspiration (Penyedotan sumsum tulang): Dokter menggunakan sebuah jarum untuk mengangkat contoh-contoh dari sumsum tulang.
·         Bone marrow biopsy (Biopsi Sumsum Tulang): Dokter menggunakan suatu jarum yang sangat tebal untuk mengangkat sepotong kecil dari tulang dan sumsum tulang.
4.        Cytogenetics—Lab melihat pada kromosom-kromosom dari sel-sel dari contoh-contoh dari peripheral blood, sumsum tulang, atau nodus-nodus getah bening.
5.        Spinal tap—Dokter mengangkat beberapa dari cairan cerebrospinal (cairan yang mengisi ruang-ruang di dan sekitar otak dan sumsum tulang belakang). Dokter menggunakan suatu jarum panjang yang kecil untuk mengangkat cairan dari kolom tulang belakang (spinal column). Prosedur memakan waktu kira-kira 30 menit dan dilaksanakan dengan pembiusan lokal. Pasien harus terbaring untuk beberapa jam setelahnya untuk mempertahankannya dari mendapat sakit kepala. Lab memeriksa cairan untuk sel-sel leukemia dan tanda-tanda lain dari persoalan-persoalan.
6.        Chest x-ray—X-ray dapat mengungkap tanda-tanda dari penyakit di dada.

Penanganan penyakit leukemia biasanya dimulai dari gejala yang muncul, seperti anemia, perdarahan dan infeksi. Secara garis besar penanganan dan pengobatan leukemia bisa dilakukan dengan tunggal ataupun gabungan dari beberapa metode dibawah ini:

1.      Chemotherapy/intrathecal medications
2.      Therapy Radiasi. Metode ini sangat jarang sekali digunakan
3.      Transplantasi bone marrow (sumsum tulang)
4.      Pemberian obat-obatan tablet dan suntik
5.      Transfusi sel darah merah atau platelet.
Pengobatan pada leukemia akut terdiri dari 3 fase, yaitu terapi induksi remisi (bertujuan untuk mempercepat induksi remisi klinik dan hematologi lengkap), terapi konsolidasi, dan terapi pemeliharaan pada ALL (untuk AML terdapat 2 pilihan, yaitu transplantasi hematopoietic stem cell atau pemberhentian terapi).

Pilihan terapi pada ALL, sebagai berikut:
Sedangkan terapi pada AML, terapi induksi menggunakan obat yang toksik untuk sel sumsum yang normal. Oleh karena itu pasien memerlukan pelayanan suportif yang intensif selama periode toksik kemoterapi induksi sebelum remisi diperoleh. Antara lain transfuse trombosit untuk mencegah pendarahan. G-CSF untuk memperpendek periode neutropenia dan antibiotic bakterisid dan tranfusi granulosit untuk melawan infeksi. Rancangan pengobatan AML sebagai berikut:

Setelah dilakukan terapi induksi remisi, jika terjadi remisi, pasien melakukan terapi berikutnya, akan tetapi apabila terjadi kekambuhan pada saat pasien dalam keadaan remisi, obat yang sama dapat digunakan untuk melakukan terapi induksi ulang. Jika terjadi resistensi, maka dilakukan terapi ulang induksi dengan menggunakan obat lain dalam berbagai kombinasi.
Sedangkan untuk terapi leukemia mielogenus kronis, terapi bertujuan untuk menurunkan granulosit ke dalam jumlah yang normal, meningkatkan konsentrasi hemoglobin sampai normal, dan menghilangkan gejala metabolik. Sediaan yang digunakan untuk memperoleh remisi adalah dengan interferon alfa IV atau busulfan IV, dengan alkilator oral atau dengan hidroksiurea. Terapi penyinaran local pada limpa juga digunakan. Tahap awal penyakit, pengobatan dimaksudkan untuk mengecilkan ukuran limpa dengan cepat, menurunkan jumlah leukosit dan meningkatkan perasaan sehat pada pasien. Untuk pasien berumur < 55 tahun sebaiknya melakukan transplantasi sumsum tulang alogenik ketika pasien remisi dan sebaiknya dalam tahun pertama setelah diagnosis ditegakkan.
Pada LLK, pengobatan berbeda dengan LMK. Pada LMK, neoplasma proliferative memerlukan pengobatan sistemik untuk simptomatik, sedangkan pada LLK hasil dari akumulasi lambat limfosit monoclonal B. Pada pasien yang penyakitnya terbatas pada limfositosis darah perifer, sebaiknya tidak dilakukan pengobatan, kecuali jumlah limfosit di atas 150.000/µL. terapi menggunakan kortikosteroid, alkilator atau fludarabin. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan manifestasi sistemik penyakit. Terapi dihentikan ketika keadaan pasien sudah stabil, dengan tetap melakukan monitoring untuk mendeteksi gejala yang kembali timbul.   
   
DESKRIPSI KASUS
            Seorang wanita 50 tahun, masuk RS dengan keluhan mual dan muntah yang menetap, rigor, nyeri mulut yang parah satu minggu setelah kemoterapi dimulai. Tiga minggu yang lalu dia masuk UGD dengan fatigue yang progresif, kurang energy dalam beberapa minggu, sakit tenggorokan, kongesti nasal dan radang gusi. Hasil pemeriksaan dia didiagnosis AML (Acut Myelogenous Leukimia) dan dimulai kemoterapi induksi dengan cytarabine dan daunorubicin.
Hasil pemeriksaan fisik :

KU       : diaphoretic, lemah
VS       :
-          TB 168 cm
-          BB 55,5 kg
-          BP 110/56 mmHg
-                     Suhu badan 39,50 C
-          RR  20 (12-18x/menit)
-          HR 100 (60-80 x/menit)
-          BSA  1,6 m2

HEENT                                    : Gingival hyperplasia, erythematous buccal cavity
COR, CHEST, EXT, NEURO  : Normal
Hasil tes pemeriksaan              :
                                                                        Normal:
Na        : 138   (normal)                                   135-150 mmol/L
K         : 3.1     (rendah)                                   3,5-5 mmol/L                          
Cl         : 115    (tinggi)                                    98-107 mmol/L
HCO3   : 22      (rendah)                                   24 mEq/L
BUN    : 9        (normal)                                   8-20 mg/dL
Cr        : 1        (normal)                                   0,6-1,2 mg/dL
Hct       : 21      (rendah)                                   35-45 %
Hgb      : 8        (rendah)                                   12-15,5g/dL
Lkc      : 0.3 x 103 (rendah)                                        4,8-10,8 x 103/mm3
Plts       : 134 x 103 (rendah)                                      150-450 x 103/mm3
Ca        : 8.0     (rendah)                                   8,5-10 mg/dL
PO4      : 2        (rendah)                                   2,5-4,5 mg/dL
PT        : 10      (rendah)                                   11,5-14,5 detik
INR      : 1.8     (rendah)                                   2,0-2,5

Bone marrow biopsy   : hypocellular marrow
Peripheral smear          : no blast
Blood culture               : negatif
CXR                            : normal

PEMILIHAN OBAT RASIONAL
Kemoterapi
a.      Sitotoksis / antibiotik
Mekanisme            :           dapat mengikat DNA secara kompleks, sehingga sintesisnya terhenti.(Tjay, 2007)
v  Drug of choice : doksorubisin
KI : hipersensitif, kehamilan dan menyusui
ES : kardiotoksis, mielotoksis, rontok rambut dan mual muntah
v  Drug of choice : daunorubisin
KI : penyakit jantung
ES : sama dengan doksorubisin
b.      Antimetabolit
v Drug of choice : cytarabin
Mekanisme : kerjanya mengganggu sintesis pirimidin dan digunakan terutama untuk menimbulkan remisi leukimia mioblastik akut. (IONI, 2000)
KI : hipersensitif
ES : toksisitas hematologi, leukopenia, mual, muntah, anoreksidan inflamasi mulut serta anus
v Drug of choice : metotreksat
Mekanisme : menghambat reduksi asam folat menjadi THFA dengna jalan pengikatan enzim reduktase.
KI : kehamilan, psoriasis, leukopenia dan anemia
ES : mual dan muntah
Terapi suportif
  1. Pemberian Nutrisi
ü  Infus Parenteral
Mekanisme aksi : memperbaiki kondisi tubuh dengan menyediakan kebutuhan  nutrisi yang hilang akibat dari kemoterapi
Efek samping : hiperglikemia, glukosuria, sindrom hiperosmolar
KI : -
  1. Manajemen nyeri
ü Morfin
.
Mekanisme aksi           : Morfin berinteraksi dengan reseptor opiate sterospesifik pada CNS dan jaringan lain. Efek analgetik yang ditimbulkan terutama bekerja di reseptor µ.
Efek Samping             : konstipasi, retensi urin, mual,muntah, retensi urine, halusinasi, prurutis, euphoria.
Kontraindikasi                        : depresi pernafasan, sensitive terhadap morfin.
ü Methadone
Mekanisme aksi           : berikatan dengan reseptor opiate di CNS, menyebabkan penghambatan jalur nyeri, merubah persepsi dan respon nyeri dan menyamarkan depresi CNS
Efek Samping             : konstipasi, retensi urin, mual,muntah, retensi urine, halusinasi, prurutis, euphoria.
Kontraindikasi                        : depresi pernafasan, sensitive terhadap morfin.
  1. Pemberian anti mual-muntah (antiemetik)
ü SSRI (dolansetron, ondansetron, granisetron)
Mekanisme aksi           : antagonis selektif reseptor serotonin (5HT3). Memblokir serotonin di perifer dan  sentral  (chemotherapy trigger zone)
Efek samping              : pusing, diare
Kontraindikasi                        : hipersensitivitas
ü  Dexametason
Mekanisme aksi           : meningkatkan efek antiemetik SSRI. Mekanisme sesungguhnya masih belum dapat dipastikan
Efek samping              : aritmia, malaise, insomnia
Kontraindikasi                        :  hipersensitivitas

EVALUASI OBAT TERPILIH
Kemoterapi à post remission à siklus 1
Diket à TB = 168 cm, BB = 55,5 kg
               BSA =
                    = 1,61 m2

Daunorubicin HCl DBL®          Tempo Scan Pacific/DBL
Komposisi             : Daunorubicin HCl
Indikasi                 : Treatment untuk leukemia ALL dan NALL
Efek Samping       : Mual, muntah, imunosupresif, depresi sum-sum tulang.
Interaksi Obat       : -
Frekuensi               : 1 x sehari
Durasi                    : 2 hari
Dosis                     :  60 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2
                                 = 60 mg x 1,61 m2
                                 = 96,6 mg
Analisis Biaya       : sediaan = 20 mg x 1 (Rp 203.000)
                                1 hari à butuh 5 vial ~ 100 mg
                                2 hari à butuh 10 vial = 10 x Rp 203.000 = Rp 2.030.000
Alasan Pemilihan  : Daunorubicin dan cytarabin merupakan 1st line therapy untuk leukemia yang baru dideteksi.

Cytosar-U®                     Pfizer
Komposisi             : Cytarabine
Indikasi                 : Induksi dan pemeliharaan untuk leukemia non limfositik akut, leukemia limfositis akut, leukemia mielositik kronik yang mengalami remisi, profilaksis untuk pengobatan leukemia meningeal.
Efek Samping       : Anoreksia, gangguan GI, inflamasi dan ulserasi pada mulut,gangguan fungsi hati, demam, supresi sum-sum tulang
Interaksi Obat       : -
Frekuensi               : 1 x sehari
Durasi                    : 5 hari
Dosis                     : 200 mg/m2 IV pada hari 1 s.d. 5
                               =200 x 1,61 m2
                               = 322 mg
Analisis Biaya       : sediaan = 100 mg x 1 (Rp 84.000)
                                1 hari à butuh 3,5 vial ~ 400 mg
                                5 hari à butuh 17,5 vial ~ 18 vial  = 18 x Rp 84.000 = Rp 1.512.000
Alasan Pemilihan  : Daunorubicin dan cytarabin merupakan 1st line therapy untuk leukemia yang baru dideteksi.

Terapi suportif
a. Pemberian Nutrisi
CLINIMIX® (asam amino, gukosa, elektrolit)
Alasan : selama siklus terapi, pasien mengalami kehilangan nutrisi dan kesulitan untuk mengkonsumsi makanan, maka dibutuhkan asupan nutrisi tambahan
Dosis : 0.35 g nitrogen/kgBB/hari =  19,25g/hari
Durasi : 20 jam/ hari
Frekuensi : 1 x sehari
IO : -
Biaya : Rp 250.000 / 1 L

b.Manajemen nyeri
ü  Morfin ( MST Continus)
Alasan :Merupakan first line pada terapi paliatif. Karena pasien sudah berada dalam level intensely severe pain ( dilihat dari skala Mc Caffery M Pasero C), maka terapi yang dilakukan dengan pengobatan paliatif sudah pada step 3 yakni menggunakan opioid kuat yakni morfin.
Dosis: 10 mg
Frekuensi: 2 x sehari 1 tab
Durasi: 1 bulan
IO: -
Biaya: 1 tab Rp 3.639,00. 1 bulan= Rp 218.350,00
c.Pemberian anti mual-muntah (antiemetik)
ü  Ondansetron (DANTROXAL®)
                Alasan : membutuhkan dosis yang lebih kecil dalam menghasilkan efek yang sama
               dibanding dengan Dolansetron, serta terdapat di Indonesia.         
               Dosis : 0,15mg/kg IV = 8,25 mg/IV
               Durasi:
               Frekuensi: 1 x sehari
    IO: -           
               Biaya:  8,25 mg x 7 = 57,75 mg = 7 ampul (8mg) + 1 ampul (4 mg) = (7 x 125.000) + (1x 77.000) =  Rp 952.000 
ü Deksametason (Dexa-M®)
        Dosis            : 12 mg IV
        Frekuensi      : 1x sehari
        Durasi          :  
        IO: -
        Analisis biaya: 1 ampul 4mg/ml = Rp 2.500,-
Alasan Pemilihan  :
- Cytarabin menginduksi mual muntah dengan level emetogenesis 2 (ringan), sedangkan daunorubicin level emetogenesis kuat. Sehingga dibutuhkan kombinasi antiemetik yang merupakan kombinasi SSRI dengan kortikosteroid (emetogenicity moderate—high)
- Ondansetron,dolasetron,granisetron à efikasi dan keamanannya >>> metoklopramid.
- Kortikosteroid dikombinasikan dengan SSRI karena dengan penambahan kortikosteroid akan meningkatkan efek antiemetik.
- Biasanya kombinasi yg diberikan Ondansetron—dexametasone.
(Dipiro, 2005)

PEMBAHASAN
Kanker merupakan kelompok penyakit yang dikarakterisasi oleh pertumbuhan sel yang tidk terkontrol, disertai dengan invasi pada jaringan lokal atau penyebaran sistemik, atau keduanya. Pada kasus kali ini, pasien didiagnosis menderita kanker leukimia mieloid akut. Leukimia merupakan suatu bentuk keganasan hematologi heterogen yang ditandai dengan proliferasi sel darah yang tidak terkendali yang terbentuk di tulang sumsum. Perkembangan sel-sel leukimia yang belum matang ini akan menghambat maturasi sel-sel normal dalam tulang sumsum, sehingga menyebabkan timbulnya anemia, neutropenia, dan trombositopenia. Sel-sel leukimia ini juga dapat menginfiltrasi berbagai macam jaringan, seperti kelenjar getah bening, kulit, hati, limpa, ginjal, testis, dan sistem saraf pusat. Disebut leukimia akut jika sel-sel yang berproliferasi adalah sel immatur yang belum terdiferensiasi. Jika tidak segera ditangani, leukimia akut dapat berkembang secara cepat dan progresif, dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu 2 sampai 3 bulan. (Leather and Poon, 2005)
Tipe sel predominan yang terlibat pada leukemia adalah limfoid dan myeloid. Kemudian, penyakit diklasifikasikan dengan jenis sel yang ditemukan pada sediaan darah tepi. Ketika leukemia mempengaruhi limfosit atau sel limfoid, maka disebut leukemia limfositik. Ketika leukemia mempengaruhi sel mieloid seperti neutrofil, basofil, dan eosinofil, maka disebut leukemia mielositik.
Manajemen kanker dapat dibedakan menjadi 4, yaitu preventif, deteksi dini, terapi yang efektif, serta terapi suportif. Untuk kasus kali ini, preventif dan deteksi dini sudah tidak mungkin dilakukan karena diagnosis sudah ditegakkan. Jadi, manajemen yang masih dapat diaplikasikan adalah terapi yang efektif dan terapi suportif.
Sedangkan tujuan terapi kanker sendiri adalah kuratif, yaitu menyembuhkan kanker dan paliatif, yaitu menghilangkan gejala untuk memperbaiki kualitas hidup dan atau memperpanjang kemampuan hidup. Jenis terapi yang digunakan dalam kasus kali ini adalah kemoterapi dan terapi simtomatik.
Tujuan jangka pendek dari pengobatan untuk AML adalah untuk mencapai remisi lengkap dengan cepat secara klinis dan hematologi. Dengan tidak adanya remisi lengkap, maka hasil yang fatal dan cepat tidak dapat dielakkan. Remisi lengkap sendiri didefinisikan sebagai hilangnya semua bukti klinis pada sumsum tulang (sel normal> 20% dan pertmbuhan < 5%) dengan pemulihan hematopoiesis yang normal (neutrofil  1.000 sel/mm3 dan trombosit > 100.000 sel/mm3). (Leather and Poon, 2005)
Pengobatan pada leukemia akut terdiri dari 3 fase, yaitu:
·         Fase 1:Terapi induksi remisi (bertujuan untuk mempercepat induksi remisi klinik dan hematologi lengkap)
·         Fase 2:Terapi konsolidasi
·         Fase 3:
ü  Pada ALL       : terapi pemeliharaan
ü  Pada AML      : terdapat 2 pilihan, yaitu transplantasi hematopoietic stem cell atau pemberhentian terapi).

Terapi induksi pada AML menggunakan obat yang toksik untuk sel sumsum yang normal. Oleh karena itu pasien memerlukan pelayanan suportif yang intensif selama periode toksik kemoterapi induksi sebelum remisi diperoleh. Antara lain transfusi trombosit untuk mencegah pendarahan. G-CSF untuk memperpendek periode neutropenia dan antibiotic bakterisid dan tranfusi granulosit untuk melawan infeksi. Rancangan pengobatan AML sebagai berikut:

Setelah dilakukan terapi induksi remisi, jika terjadi remisi, pasien melakukan terapi berikutnya, akan tetapi apabila terjadi kekambuhan pada saat pasien dalam keadaan remisi, obat yang sama dapat digunakan untuk melakukan terapi induksi ulang. Jika terjadi resistensi, maka dilakukan terapi ulang induksi dengan menggunakan obat lain dalam berbagai kombinasi.
Pada kasus ini pasien sudah terdiagnosa AML dan telah menjalani terapi kemoterapi induksi dengan cytarabine dan daunorubicin. Pasien megalami efek samping kemoterapi ‘tertunda/delayed (seminggu setelah kemoterapi)’. Terapi induksi menggunakan obat yang toksik untuk sel sumsum yang normal. Oleh karena itu pasien memerlukan pelayanan suportif yang intensif selama periode toksik kemoterapi induksi sebelum remisi diperoleh.
Untuk mengatasi nyeri karena kanker, digunakan morfin. Morfin merupakan first line pada terapi paliatif. Karena pasien sudah berada dalam level intensely severe pain ( dilihat dari skala Mc Caffery M Pasero C), maka terapi yang dilakukan dengan pengobatan paliatif sudah pada step 3 yakni menggunakan opioid kuat yakni morfin. Morfin menjadi pilihan karena tersedia dalam berbagai sediaan, memiliki banyak rute pemberian seperti oral, rectal, IM, SC, IV, epidural, intratekal. Morfin memiliki efek adiksi yang lebih tinggi dari yang lainnya.
Cytarabin menginduksi mual muntah dengan level emetogenesis 2 (ringan), sedangkan daunorubicin level emetogenesis kuat. Sehingga dibutuhkan kombinasi antiemetik yang merupakan kombinasi SSRI dengan kortikosteroid (emetogenicity moderate—high). Ondansetron, dolasetron, dan granisetron efikasi dan keamanannya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan metoklopramid. Kortikosteroid biasanya dikombinasikan dengan SSRI karena dengan penambahan kortikosteroid akan meningkatkan efek antiemetik. Kombinasi yang biasa diberikan adalah Ondansetron—dexametasone. (Leather and Poon, 2005)
Selain itu, diperlukan juga penambahan nutrisi pada pasien, karena pasien mengalami kehilangan nutrisi dan kesulitan untuk mengkonsumsi makanan, diakibatkan oleh mual muntah karena kemoterapi yang diterima pasien. Nutrisi diberikan secara parenteral, yaitu Clinimix yang berisi glukosa, asam amino, dan elektrolit. Dengan diberikannya tambahan nutrisi, diharapkan kondisi pasien dapat segera membaik, sehingga kemoterapi dapat dilanjutkan ke fase berikutnya.
Jika kondisi pasien sudah membaik, maka terapi kanker dapat dilanjutkan dengan fase konsolidasi (fase 2). Terapi yang direkomendasikan untuk 1 siklus adalah Daunorubicin HCl selama 2 hari (1x sehari, dosis 96,6 mg) dan Cytarabine selama 5 hari (1x sehari, dosis 322 mg). obat-obat ini dipilih karena merupakan first line terapi pada AML. Lagipula, sebelumnya pasien pernah menjalani kemoterapi dengan obat-obat ini, sehingga diharapkan pasien sudah lebih dapat menoleransi efek samping yang diakibatkan oleh pemakaian obat-obat ini.

MONITORING DAN FOLLOW UP
  1. Pemeriksaan fisik setiap hari
  2. CBC dan kimia serum (asam urat, kalium, kalsium, posfat) secara intense setiap hari selama kemoterapi
  3. Biopsy dan aspirasi sumsum tulang belakang 7-10 hari setelah berakhirnya kemoterapi
  4. Monitoring demam pada penggunaan antibiotik pada celulitis
  5. Monitoring setiap hari bahwa infeksi celulitis sudah terkontrol, perlu dilakukan pemeriksaan ulang pada celulitis jika luka infeksi tidak membaik atau semakin terasa nyeri dan demam meningkat.
  6. Monitoring mual muntah setelah kemoterapi, jika masih terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam akan diberikan terapi akut mual muntah dan jika lebih dari 24 jam dengan penanganan delay mual muntah akibat kemoterapi
  7. jika kadar platelet kurang dari 5000-10.000/mm3 maka harus dilakukan transfusi platelet
  8. Jika kadar Hct kurang dari 25 % maka pasien harus diberi transfusi sel darah merah
  9. Dilakukan monitoring EKG karena kemoterapi yang digunakan mengakibatkan toksisitas kepada jantung

KOMUNIKASI, INFORMASI, DAN EDUKASI KEPADA PASIEN
  1. Bersihkan daerah luka infeksi celulitis dengan air hangat selama 15 menit
  2. Penyimpanan  obat dalam vial berupa larutan di refrigerator dan dihindarkan dari sinar matahari
  3. Allopurinol diambil sesudah makan
  4. Pasien disarankan untuk banyak mengkonsumsi makanan bergizi seperti buah-buahan dan sayur-sayuran
  5. Diperlukan dukungan dari keluarga untuk membantu kesembuhan pasien
  6. Komunikasikan bahwa penggunaan obat (daunorubisin) akan menyebabkan urin berwarna kemerahan yang menandakan obat sedang bekerja
  7. Rambut rontok akibat kemoterapi merupakan hal yang wajar dan bersifat reversible setelah kemoterapi berakhir.

KESIMPULAN
1.        Pasien menderita leukemia AML
2.        Regimen kemoterapi yang digunakan untuk fase konsolidasi adalah kombinasi Daunorubicin dan Cytarabin, dimana Daunorubicin digunakan selama 2 hari dan Cytarabin selama 5 hari.
3.        Terapi suportif yang diberikan adalah antiemesis untuk mengatasi emesis kuat yang terjadi akibat penggunaan obat-obat kemoterapi, disini digunakan kombinasi antiemesis Ondansetron dan Dexamethason.
4.        Untuk mengatasi nyeri kanker, digunakan analgetik step 3, yaitu morfin.
5.        Diberikan infus Clinimix untuk penambah nutrisi pasien
6.        Perlu dilakukan monitoring terhadap fungsi ginjal, hati dan jantung pasien, serta beberapa efek samping yang mungkin terjadi akibat obat-obat yang digunakam.
7.        Pengobatan leukemia cukup memakan waktu yang lama, maka perlu diberikan komunikasi kepada keluarga pasien untuk selalu memberikan dukungan pada pasien, karena hal tersebut sangat berpengaruh pada kebehasilan terapi.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1994, Pedoman Diagnosis dan Terapi lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam 1994. Surabaya : Tim Dokter RSUD dr.Sutomo
Anonim, 2009, Leukemia, http://leukemia-akut.html, 18 Desember 2010
Anonim, 2009, Leukemia, http://penyakit-leukemia-kanker-darah.html, 18 Desember 2010
Anonim, 1994, Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Unair & RSUD dr Soetomo, Surabaya
Leather, Helen L. and Betsy Bickert Poon, in Acute Leukimias, Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C. Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., (Eds), 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, seventh Edition, McGraw Hill, Medical Publishing Division, New York
Pick, Amy M., Marcel Devetten, and Timothy R. McGuire, in Chronic Leukimias, Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C. Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., (Eds), 2008, Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, seventh Edition, McGraw Hill, Medical Publishing Division, New York
Robbins dan Kumar, 1995, Buku Ajar Patologi I, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Simon, Sumanto, dr. Sp.PK, 2003, Neoplasma Sistem Hematopoietik: Leukemia, Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya, Jakarta
Underwood, J. C. E.,1999, Patologi Umum dan Sistemik.VOL.1. Ed. 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Widmann.F.K, 1992, Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta